Setiap ide untuk mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta perlu dihargai. Begitu pula keinginan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghapus bahan bakar minyak bersubsidi. Hanya, usul ini diragukan efektivitasnya dalam mengatasi kemacetan lalu lintas.
Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok cukup gigih menggelindingkan gagasan itu. Ia berharap agar subsidi BBM di Ibu Kota dicabut sehingga Premium dijual dengan harga keekonomian, yakni sekitar Rp 10 ribu per liter. Dengan langkah ini, para pemilik kendaraan pribadi diasumsikan beralih ke angkutan umum karena biayanya akan lebih murah.
Sepintas skenario itu tampak logis. Masalahnya, hingga sekarang jumlah angkutan umum yang murah dan nyaman belum memadai. Bus Transjakarta, yang digadang-gadang memenuhi syarat ini, misalnya, belakangan sering telat, sumpek, dan tak aman. Angkutan kereta api di Jakarta dan sekitarnya juga penuh sesak pada jam-jam sibuk.
Memang, Gubernur DKI Jakarta Jokowi sudah berancang-ancang menambah bus Transjakarta sebanyak 600 unit pada tahun depan. Pak Gubernur juga akan menghibahkan 1.000 unit Kopaja dan Metro Mini baru. Sebagian Metro Mini itu bahkan dilengkapi penyejuk ruangan. Tapi tambahan armada yang dilakukan secara bertahap ini masih belum mencukupi kebutuhan transportasi di Jakarta.
Masalah lain yang membuat usul Ahok tak akan efektif adalah kenyataan bahwa kendaraan pribadi yang menjadi sumber kemacetan sebagian besar berasal dari luar Jakarta. Saban hari Ibu Kota diserbu 5,4 juta kendaraan dari kota-kota satelit. Mobil pribadi yang meluncur ke Jakarta tetap bisa membeli BBM bersubsidi di Bekasi, Depok, atau Tangerang Selatan. Orang-orang di Jakarta pun masih bisa membeli BBM murah di wilayah di sekitar Jakarta.
Kiat mengatasi kemacetan tidak harus dikaitkan dengan harga BBM. Pemerintah DKI bisa menempuh jalan lain agar biaya berkendaraan pribadi-terutama mobil-menjadi jauh lebih mahal dibanding naik angkutan umum. Misalnya, memberlakukan ruas jalan berbayar atau electronic road pricing. Tarif parkir, baik di jalanan maupun di gedung-gedung di Jakarta, juga bisa dinaikkan.
Sebaliknya, para pengguna angkutan umum harus benar-benar dimanjakan dengan tarif yang amat murah. Biaya operasional akan murah bila angkutan umum menggunakan bahan bakar gas. Ambil contoh bus Transjakarta, yang saat ini membeli gas dengan harga Rp 3.100 per liter setara Premium. Hanya, kendalanya, hingga sekarang stasiun pengisian bahan bakar gas di Jakarta masih terbatas. Hal inilah yang perlu diatasi.
Pemerintah juga perlu membangun sistem transportasi massal yang terintegrasi dengan kota-kota di sekitar Jakarta. Upaya ini bisa menekan tarif angkutan sekaligus membuat penumpang nyaman karena tidak harus berganti-ganti angkutan.
Kunci mengatasi kemacetan bukan terletak pada harga bahan bakar minyak, melainkan pembenahan angkutan umum dan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi.