Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan keputusan presiden tentang pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi layak didukung. Presiden sebaiknya menyiapkan pengganti Patrialis ketimbang mengajukan banding atas putusan PTUN. Inilah momentum yang tepat untuk kembali membenahi Mahkamah.
Dalam amar putusannya, majelis hakim PTUN menyatakan pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juli 2013 tidak transparan dan tidak partisipatif. Mekanisme penunjukan mantan Menteri Hukum dan HAM itu melanggar Perpu Mahkamah Konstitusi, yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Mahkamah. Undang-undang ini mensyaratkan pencalonan hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif.
Pertimbangan hakim PTUN sudah tepat. Penunjukan Patrialis berbeda dengan tradisi penunjukan hakim Mahkamah Konstitusi sebelumnya. Misalnya pada periode kepengurusan tahap dua Mahkamah, antara 2008 dan 2013. Saat itu Presiden menunjuk Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, untuk membentuk komisi pemilihan. Komisi kemudian menggelar fit and proper test, lalu terpilih tiga nama hakim: Abdul Mukti Fadjar, Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki.
Presiden memang bisa mengajukan banding atas putusan itu. Namun, bila hal ini yang dilakukan, Presiden tidak konsisten dengan semangat Undang-Undang Mahkamah yang berasal dari Perpu MK yang ia ajukan. Presiden semestinya tidak lupa, dialah yang merancang perpu itu agar hakim konstitusi bukan anggota partai politik minimal selama tujuh tahun, dan proses seleksi berlangsung transparan melalui panel ahli.
Patrialis tidak memenuhi syarat itu. Saat diangkat sebagai hakim, dia masih anggota partai. Pemilihannya pun tidak transparan. Ini artinya, jika Presiden mengajukan banding, dia telah mengkhianati semangat Undang-Undang Mahkamah.
Patrialis pun sebaiknya sadar diri, tak perlu banding. Alasan bahwa dia harus banding demi wibawa Mahkamah mengada-ada. Wibawa Mahkamah dimulai dari para hakimnya. Mereka tidak hanya harus bersih, tapi juga harus ditunjuk melalui mekanisme yang sesuai dengan undang-undang. Inilah cara menjaga wibawa Mahkamah. Bahkan sepantasnya Patrialis dinonaktifkan dulu sampai putusan pembatalannya berkekuatan hukum.
Memang muncul persoalan kekurangan hakim. Putusan PTUN itu juga membatalkan pengangkatan hakim Maria Indrati. Ditambah telah dipecatnya Akil Mochtar, lalu hakim Harjono yang akan pensiun, bila Patrialis dinonaktifkan, hakim tersisa tinggal lima orang. Padahal UU Mahkamah mensyaratkan majelis bersidang dengan hakim minimal tujuh orang.
Situasi inilah yang harus segera diatasi. Presiden, DPR, dan MA harus mengajukan nama-nama baru untuk mengisi kekosongan itu. Inilah kesempatan untuk mengisi Mahkamah dengan orang-orang yang berintegritas dan kompeten, melalui proses seleksi yang telah disempurnakan sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah.