Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Syariah

Oleh

image-gnews
Iklan
KATAKANLAH sebuah kota hendak membuat peraturan: setelah pukul 10 malam, tak boleh seorang perempuan pun berjalan ke luar rumah tanpa disertai suami atau muhrimnya. Katakanlah sebuah daerah ingin menghukum pencuri dengan potong tangan dan penzina dengan rajam. Pasti akan ada orang yang menentangnya dengan sangat, akan ada pula orang yang menyetujuinya dengan sangat?dan sebuah pertanyaan yang pelik akhirnya akan datang: adilkah? "Adil": sebuah tanda. Di sana ada bunyi, ada huruf, ada gambar, yang menandai sesuatu. Tapi apa gerangan "sesuatu" itu orang tak kunjung bersepakat. Berabad-abad mereka tergerak oleh penanda itu. Terkadang orang berebut, terkadang bersaing, memberi "isi" kepadanya. Sebagian mengklaim bahwa "isi" yang hendak mereka terapkan datang dari sebuah pengalaman yang ratusan tahun, dan sebab itu terjamin ampuhnya. Ada lagi yang menunjukkan bahwa makna "adil" mereka berasal dari sesuatu yang tak ada di bumi yang fana dan sepele ini, sebab itu kekal dan dahsyat. Sebagian yang lain, terutama sejak abad ke-19, akan menandaskan bahwa mereka menyajikan sebuah makna "adil" yang ilmiah: sesuatu yang terbukti sahih dan, seperti titah Tuhan, tak bisa ditangkis. Tapi tangkis-menangkis terus terjadi. Manusia tak pernah sendiri. Kian kompleks kebersamaan, kian rumit pula cara mengatur agar konflik dan kompetisi itu tak terus-menerus destruktif. Sebab, sejarah mencatat begitu banyak pembantaian tatkala pertikaian meledak di sekitar apa yang adil dan yang tidak?tema yang lebih tua ketimbang Musa, lebih muda ketimbang Taliban. Mungkin karena itu, berangsur-angsur, dalam sejarah, makna "adil" yang misterius itu pun disederhanakan. Ia dibuat berketentuan. Orang menyebutnya sebagai "hukum". Dengan itu keadilan hadir sebagai sesuatu yang tak menghendaki misteri, dan misteri tampak sebagai yang mengancam keadilan. Di Inggris, Edmund Burke merumuskannya dengan sebuah pertanyaan retorik pertengahan abad ke-18: "Tak dapatkah saya katakan? tentang hukum manusia, bahwa di mana misteri bermula, keadilan berakhir?" Demikianlah, misteri surut, dan peradaban lahir. Ia lahir bersama terbentuknya hukum sebagai lembaga yang disepakati dan dihormati. Ketika membahas terjemahan buku Robert Heffner, Civil Islam, dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki pekan lalu, Nurcholish Madjid menyebut salah satu pembuka peradaban seperti itu adalah Musa, pendahulu Muhammad. Kepada puak-puak Bani Israel yang berpindah dari gurun satu ke gurun lain yang gersang, dalam alam yang membangkitkan gentar kepada yang gaib dan tak pasti, Musa memperkenalkan 10 Perintah Allah: 10 kalimat imperatif yang ringkas dan tegas. Bersama itu ada sebuah pusat. Ia bisa berupa Tabut, dan dalam tradisi Islam ia berupa Ka'bah. Pusat meniscayakan tempat. Nurcholish dengan jernih menunjukkan bahwa kata "civil", yang di dalam bahasa Indonesia kini disebut "madani", berkaitan erat dengan "madinah", yang dekat maknanya dengan "negeri". Dengan kata lain, telah lahir sebuah tempat menetap bagi bangsa Ibrani ataupun Arab, dua kaum yang namanya mengandung akar kata "a-b-r", dua kaum yang bermula dari hidup mengembara. Dan dengan terwujudnya madinah itu, apa yang "adil" pun diterjemahkan dalam aturan, lembaga, prosedur. Keadilan tak ditentukan sekadar dengan mencabut pedang dan menuntut balas "satu mata untuk satu mata, sepotong gigi untuk sepotong gigi". Tapi bukannya tanpa persoalan. Ketika lahir sebuah madinah, ketika digantikan keadilan sebagai misteri menjadi keadilan sebagai hukum, kita tahu bahwa negeri memang memerlukan tertib. Maka hukum pun memerlukan kitab, dan kitab adalah sebundel kata-kata yang berakhir dengan ditutup. Di sini berperan apa yang pasti dan yang praktis: masyarakat pun masuk dari taraf imajiner ke dalam taraf simbolis. Begitu pula cara tafsir orang akan firman. Kata "syariah" itu sendiri, misalnya. Nurcholish Madjid kembali mengingatkan bahwa "syariah" sebenarnya berarti "jalan". Kata ini lebih luas maknanya ketimbang hanya seperangkat aturan yang, misalnya, memotong tangan si pencuri. Ketika "syariah" direduksikan menjadi hanya undang-undang yang dihafal dari kaji lama, "jalan" itu tak dianggap sebagai jalan lagi. Umat Islam, kata Nurcholish, menjadi mandek ketika di jalan itu mereka memperlakukan garis depan perbatasan penjelajahan, frontier, sebagai batas atau limit. Dengan kata lain, eksplorasi itu pun berhenti. Tapi penjelajahan itu berhenti bukan tanpa sebab. Selalu ada kehendak lumrah sebuah masyarakat untuk jeda, mungkin sejenak, mungkin karena gentar, buat berkonsolidasi. Untuk membangun kesatupaduan di saat seperti itu, faktor kekuasaan pun bermain. Bisa saja kontrol itu diterima orang ramai, bahkan sering dengan keyakinan bahwa yang mengikat bukanlah sesuatu yang kontraktual?yang terbit dari proses kesepakatan dalam sebuah perjanjian?melainkan sesuatu yang transendental. Demikian itulah memang "syariah" dalam arti sempit itu ditawarkan. Persoalan abad ke-21 adalah bahwa agama-agama tetap punya khazanah yang bisa meyakinkan untuk itu. Mungkin karena manusia membutuhkan, meskipun tak kunjung mendapatkan, seutas tali sebagai tambatan untuk membangun sebuah konsensus yang jujur, sebuah persetujuan yang tabah: sebuah "fiksi" sekalipun, kata Habermas?mungkin sebuah utopia. Tapi kenapa tidak? Begitu sering manusia bermufakat karena ada yang tak bisa bilang "tidak" kepada yang kuat. Yang mencemaskan ialah bila yang kuat membawa sebuah ilusi sebagai yang abadi. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

39 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

44 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

44 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.