Diluncurkannya program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pekan ini merupakan langkah maju. Memang masih banyak masalah yang harus diatasi. Program ini juga sempat tertunda karena berbagai alasan. Namun, setelah dinyatakan resmi berlaku per 1 Januari lalu, program ini tak boleh gagal. Kewajiban konstitusional negara untuk menjamin kesehatan warganya dipertaruhkan di sini. Lubang-lubang kelemahan pun mesti diatasi.
Program yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini sangat penting karena menyangkut jaminan kesehatan bagi sedikitnya 176 juta penduduk. Pada prinsipnya, program yang menjadi bagian dari system jaminan sosial ini adalah semacam asuransi massal bagi rakyat Indonesia.
Lewat program ini, masyarakat miskin mendapat bantuan membayar premi asuransi kesehatan sebesar Rp 19.225 per bulan. Untuk non-pegawai negeri, premi yang harus dibayar mulai dari Rp 25.500 hingga Rp 59.500. Adapun pegawai negeri, anggota TNI, dan Polri membayar premi 5 persen dari gaji per keluarga per bulan.
Besaran angka premi itu memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Kalangan dokter dan rumah sakit khawatir premi itu tak akan cukup untuk melayani lonjakan permintaan pelayanan kesehatan. Sebaliknya, kalangan buruh merasa premi itu terlalu berat. Mereka juga merasa tak perlu harus membayar premi BPJS karena UU No. 3/1992 tentang Jamsostek menyebutkan bahwa biaya kesehatan ditanggung pengusaha.
Masih ada soal lain, yaitu terbatasnya pengertian masyarakat tentang pentingnya mengikuti program BPJS Kesehatan. Banyak yang belum paham bahwa program ini sebetulnya menguntungkan mereka. Di sisi lain, pedoman pelayanan peserta BPJS pun masih simpang-siur. Beberapa rumah sakit kebingungan menetapkan mekanisme pelayanan peserta, karena petunjuk pelaksanaan tak tersosialisasi maksimal.
Semua itulah yang harus segera diatasi pemerintah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera membuat peraturan presiden atau peraturan pemerintah untuk undang-undang tentang BPJS itu. Sedikitnya ada 16 regulasi turunan dari UU BPJS ini yang harus disediakan.
Sebagian turunan sudah diterbitkan, namun sebagian yang lain belum. Salah satunya, misalnya, mengenai tumpang-tindih pelaksanaan BPJS dan Jamsostek. Akibatnya, muncul kebingungan, bukan hanya di kalangan pekerja, tapi juga pengusaha. Para pengusaha mengeluh, di satu sisi mereka tetap harus menjalankan kewajibannya membayar Jamsostek, di sisi lain mereka juga harus membayar premi pekerjanya untuk BPJS.
Kebingungan itu bisa diatasi jika pemerintah segera menuntaskan semua aturan pelaksanaan undang-undang tentang BPJS. Inilah yang harus dipercepat. Apalagi UU BPJS itu sudah berlaku lebih dari setahun yang lalu. Jika pemerintah mempercepat pembuatan aturan pelaksanaan yang diperlukan, sosialisasi program BPJS bisa lebih mudah dilakukan. Janganlah program sepenting ini tersendat gara-gara proses sosialisasi yang tak maksimal.