Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Indar Atmanto dalam kasus frekuensi Indosat sungguh memprihatinkan. Hukuman Indar diperberat dari 4 tahun menjadi 8 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam penggunaan frekuensi 3G Indosat di 2,1 GHz. Indar menjadi Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) ketika meneken kerja sama dengan Indosat, "induk" IM2.
Sebagai judix factie, majelis hakim justru mengabaikan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Indar tak melakukan pelanggaran hukum. Jika "semangat" pengadilan banding harus memperberat hukuman seorang tersangka korupsi, putusan seperti atas Indar ini sangat berbahaya.
Kasus ini sudah mengundang kritik sejak tahap penyidikan. Kejaksaan terkesan "mengorek-ngorek" perkara ini agar masuk menjadi "kasus korupsi". Kejaksaan menyebutkan penunjukan IM2 memakai jaringan 3G tak lewat tender. Menurut kejaksaan, negara dirugikan Rp 1,3 triliun. Itu jumlah yang mesti diterima negara atas biaya penggunaan frekuensi tersebut.
Jaksa menjerat Indar dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 8 Juli silam memvonis Indar 4 tahun penjara. Selain Indar, tersangka lain dalam kasus ini adalah dua bekas Direktur Utama PT Indosat, yakni Johnny Swandi Sjam dan Harry Sasongko.
Pengadilan tingkat pertama telah mengabaikan fakta yang menunjukkan tak ada korupsi dalam kasus ini. Lewat suratnya kepada Jaksa Agung, Menteri Komunikasi dan Informatika menegaskan, kerja sama pengelolaan jaringan Internet 3G Indosat-IM2 sudah sesuai dengan aturan. Tapi surat dari lembaga yang paling berwenang dalam hal pengaturan frekuensi ini dikesampingkan oleh jaksa dan hakim.
Pengadilan tingkat pertama juga menyebutkan kerja sama itu terbukti membuat negara rugi Rp 1,3 triliun. Nilai itu merupakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Padahal Pengadilan Tata Usaha Negara menyebutkan hasil audit itu tidak sah dan cacat hukum. Indosat sesungguhnya sudah membayar upfront fee Rp 320 miliar dan biaya hak penggunaan frekuensi Rp 1,37 triliun.
Pada mulanya kita berharap pengadilan banding mengoreksi vonis pengadilan pertama. Berdasarkan fakta-fakta itu, semestinya Indar dinyatakan tidak bersalah. Ia bahkan tak bisa diajukan sebagai tersangka. Dia bukan penyelenggara negara atau pejabat publik sebagaimana didefinisikan Pasal 3 UU Korupsi. Indar menandatangani kerja sama itu dalam kapasitasnya sebagai direksi PT IM2. Secara logika, yang semestinya dihukum-jikapun bersalah-adalah IM2 sebagai korporasi, bukan Indar sebagai pribadi.
Kita setuju setiap kasus dugaan korupsi mesti diusut, dan pelakunya dihukum berat. Tapi, jika semua ini dilakukan dengan mengabaikan fakta hukum dan menyingkirkan hak-hak tersangka, itu tindakan keji. Adagium hukum menyebutkan, "lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah".
Kita berharap Mahkamah Agung sebagai judex juris mengoreksi kesalahan lembaga peradilan di bawahnya.