Banjir di Ibu Kota sekali lagi membuktikan betapa amburadulnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta. Sudah berbilang tahun proyek penanganan banjir di Jakarta tak kunjung rampung. Pemerintah pusat dan Gubernur Joko Widodo seharusnya menindak tegas bawahan yang tak sigap menangani banjir.
Selama ini, setiap kali banjir tiba, orang ramai-ramai menyalahkan Gubernur DKI Jakarta, siapa pun gubernurnya. Itu jelas bukan sikap yang tepat. Soalnya, urusan banjir tak semata-mata berada di pundak gubernur, tapi juga ada di tangan pemerintah pusat. Dalam urusan 13 sungai besar yang berhulu di provinsi lain dan melintasi Jakarta, wewenang pengelolaannya ada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. Adapun Pemerintah Provinsi Jakarta hanya memiliki kewenangan pada sungai kecil, saluran penghubung, dan saluran mikro.
Dengan pembagian yang jelas seperti itu, secara teori semestinya penanganan banjir di Ibu Kota bisa lebih cepat dan lebih baik lagi. Namun pelaksanaan kewenangan itu berjalan timpang. Buntutnya, saban tahun banjir menenggelamkan Jakarta.
Respons kurang cepat pemerintah pusat itu membuat pemerintah Jakarta geregetan dan mengambil alih kewenangan pemerintah pusat. Contoh terbaru adalah perbaikan ruas Jalan T.B. Simatupang, yang ambles akibat banjir lantaran hujan mengguyur Jakarta sejak Ahad hingga Senin malam lalu. Jokowi segera memerintahkan bawahannya melebarkan gorong-gorong sempit dan meninggikan ruas jalan tersebut. Pengerukan Waduk Pluit, Jakarta Utara, adalah contoh lain kewenangan pusat yang diambil Jakarta.
Jokowi bukan tak punya salah. Setahun memimpin Jakarta, belum banyak yang dilakukan untuk mengatasi banjir. Waduk Pluit memang sudah dikeruk. Namun normalisasi sungai, gorong-gorong, dan waduk-waduk lain mesti dikebut. Drainase kota yang berusia hampir setengah abad tak semua rampung dibenahi. Akibatnya, saat hujan mengguyur deras selama dua jam saja, saluran air "kalah". Genangan banjir ada di berbagai tempat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, tahun ini ada 35 titik genangan yang membuat 5.152 jiwa mengungsi. Luas genangan itu memang lebih kecil ketimbang banjir di zaman Gubernur Fauzi Bowo, yang mencapai 62 titik. Namun tetap saja masih banyak yang perlu dibenahi..
Masalah banjir tak sepatutnya dipolitisasi. Semua pihak harus bekerja sama mencegah banjir di Jakarta, sekaligus melakukan berbagai tindakan jika banjir masih terjadi. Apalagi ancaman banjir besar masih membayang di depan mata. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi puncak musim hujan akan terjadi pada dua pekan terakhir Januari hingga dua pekan awal Februari.
Pemerintah pusat dan Gubernur Jakarta seharusnya duduk bersama dan segera merampungkan pembenahan Kota Jakarta. Kedua belah pihak juga mesti berpikir jangka panjang dan komprehensif dengan melibatkan daerah sekitar Jakarta, seperti Bogor dan Tangerang. Hanya dengan cara itu, Jakarta baru bisa bebas dari banjir.(*)