Rencana pemerintah membiayai para saksi dalam pemilu memperlihatkan begitu longgarnya penggunaan anggaran negara. Biaya yang mencapai lebih dari Rp 700 miliar itu baru dibicarakan sekarang. Padahal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 sudah lama disahkan. Penyelenggaraan pemilu legislatif pun tinggal sekitar dua bulan lagi.
Pemerintah menugaskan pengalokasian dana itu kepada Badan Pengawas Pemilu. Menurut petinggi pemerintah, kalangan partai politik kekurangan dana untuk para saksi yang mewakili mereka di tempat pemungutan suara. Maka, dititipkanlah dana ratusan miliar rupiah itu kepada Bawaslu bersamaan dengan duit Rp 800 miliar untuk panitia pengawas lapangan. Jadi, total dana tambahan yang diterima Bawaslu adalah Rp 1,5 triliun. Ini di luar anggaran operasional, sekitar Rp 3 triliun, yang telah dipatok dalam APBN.
Tambahan anggaran itulah-terutama dana para saksi dari partai politik-yang kini diributkan. Partai politik, seperti Demokrat dan Partai Amanat Nasional, menyokong pemberian dana tersebut. Tapi PDI Perjuangan dan NasDem tidak setuju, bahkan mempertanyakan motif penyaluran dana buat para saksi itu. Kedua partai ini merasa mampu membiayai saksi-saksi mereka di tempat pemungutan suara.
Ribut-ribut itu tak akan muncul andaikata masalah tersebut dibahas jauh hari, termasuk landasan hukumnya. Pembiayaan para saksi oleh negara sebetulnya akan mengurangi beban keuangan partai politik. Secara teoretis, hal ini akan mencegah kalangan partai politik mencari sumber dana dengan menghalalkan segala cara, termasuk lewat korupsi. Selama ini undang-undang juga memperbolehkan partai politik mendapat bantuan dari negara yang besarnya sesuai dengan perolehan suara dalam pemilu.
Masalahnya, Undang-Undang Partai Politik tidak mengatur secara khusus pembiayaan negara untuk para saksi dalam pemilu. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu juga tidak memberi wewenang bagi Bawaslu untuk menyalurkan alokasi dana buat para saksi yang mewakili partai politik itu. Rencananya, pemerintah mengatur pembiayaan para saksi tersebut lewat peraturan presiden.
Terobosan itu sungguh riskan. Bukan hanya landasan hukumnya yang kurang kuat, persoalan audit penggunaan dana itu juga bisa bermasalah. Partai politik bisa saja lepas tangan karena dana tersebut tidak masuk ke kas partai, melainkan langsung kepada para saksi. Mau tidak mau, kelak Bawaslu-lah yang melaporkan penggunaannya sekaligus bertanggung jawab bila ada penyelewengan. Inilah yang perlu dipertimbangkan oleh Bawaslu.
Pembiayaan para saksi pemilu atau kegiatan partai politik bisa saja menggunakan anggaran negara. Terlebih lagi bila bertujuan memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus mengurangi korupsi. Tapi sebaiknya semua itu diatur lewat undang-undang, bukan dengan cara serampangan sehingga menimbulkan prasangka buruk.