Pemidanaan pedagang di pusat belanja International Trade Center Mangga Dua oleh pengembang PT Duta Pertiwi sekali lagi menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen. Sengketa pedagang dengan pengembang ITC itu semestinya bisa diselesaikan secara elegan dan tak perlu melibatkan polisi. Sekali lagi kita melihat betapa berkuasanya pemilik modal, sehingga tiga pedagang dijadikan tersangka pekan lalu.
Pangkal sengketa itu sebenarnya sederhana, soal kenaikan tarif sewa dari Rp 80 ribu per meter persegi menjadi Rp 128 ribu per meter persegi pada April tahun lalu. Duta Pertiwi menganggap kenaikan itu hal lumrah lantaran alasan inflasi dan faktor-faktor ekonomi lainnya. Masalahnya menjadi rumit karena pedagang merasa tak pernah ada sosialisasi. Mereka menolak membayar tarif baru. Duta Pertiwi lalu membalasnya dengan memutus aliran listrik ke tiap unit toko. Akibatnya, pedagang meradang. Mereka mendatangi kantor pemasaran, lalu terjadi kericuhan hingga kaca kantor pecah.
Kerusakan properti itu dijadikan amunisi oleh Duta Pertiwi untuk menyeret kasus tersebut ke kepolisian. Para pemimpin asosiasi pedagang ITC Mangga Dua pun dijadikan tersangka. Upaya kriminalisasi yang dilakukan pengembang ITC Mangga Dua sungguh sangat disayangkan. Publik akan melihat pengembang ITC tak punya niat baik untuk menyelesaikan masalah sepele ini secara damai. Mereka seperti ingin membungkam para pedagang.
Khalayak tahu ini bukan kasus pertama dari anak perusahaan Sinar Mas Group itu. Pada 2009, Duta Pertiwi juga membuat Kho Seng Seng dihukum denda Rp 1 miliar dan hukuman 6 bulan percobaan penjara hanya karena menulis surat pembaca soal status pemilikan apartemennya, Apartemen Mangga Dua.
Jika ingin citra Duta Pertiwi tidak jeblok di mata publik, seharusnya mereka mau duduk bersama dengan para pedagang, mencari solusi dengan hati lapang. Apalagi saat ini beredar dugaan bahwa polisi sigap menyidik setelah mereka menerima gratifikasi berupa 50 telepon pintar dari anak perusahaan lain Sinar Mas Group. Duta Pertiwi dan Sinar Mas Group semestinya mau menjelaskannya soal itu.
Yang juga sangat disayangkan adalah diamnya pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah Jakarta seharusnya bisa menengahi konflik seperti ini. Namun Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memilih tidak melakukannya. Alasannya, "pemerintah tak bisa masuk dalam sengketa itu karena fungsinya hanya pembinaan". Basuki mendasarkan sikapnya pada Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman.
Basuki keliru. Semestinya ia menengok pada Undang-Undang Rumah Susun. Dalam beleid itu diatur bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan rumah susun, rumah toko, atau apartemen. Kepala Dinas Perumahan bahkan bisa menganulir keputusan pengembang jika dinilai menyalahi prosedur, seperti sosialisasi, atau tarif yang tak berdasar.
Kasus sengketa pedagang dengan pengembang ITC Mangga Dua ini menunjukkan sekali lagi minimnya perlindungan atas hak konsumen. Pemerintah Jakarta harus turun tangan agar sengketa ini tak menjadi bom waktu, karena kini apartemen dan pusat belanja semakin menjamur.