Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pada Suatu Hari, Ikarus

Oleh

image-gnews
Iklan

Pada suatu hari, Ikarus, yang terpenjara di Pulau Kreta, ingin melarikan diri melalui udara, terbang. Ayahnya, Daedalus, seorang penemu, membuatkannya sayap. Bulu-bulu garuda pun dihimpun dan ditata, dan akhirnya sepasang suwiwi besar pun jadi, direkatkan dengan lilin ke tubuh si anak. Ia terbang. Tapi ia terbang terlalu tinggi, mendekati matahari. Lilin itu pun meleleh oleh panas surya, dan suwiwi itu tanggal, dan Ikarus jatuh ke bumi, ke Laut Aegea. Ia tenggelam.

Mithologi Yunani itu tak bercerita apa yang terjadi ketika ia terempas ke permukaan ombak. Tapi, di tahun 1555, Brueghel Yang Tua melukis adegan itu. Dalam Lanskap dengan Kejatuhan Ikarus, perupa termasyhur Belanda abad ke-16 itu tak memaparkan sebuah kecelakaan yang menyedihkan ataupun sebuah peristiwa yang dramatik. Justru sebaliknya.

Di kanvasnya, yang tampak adalah sebuah pemandangan pastoral, cerah dan penuh warna. Pagi musim semi. Di bagian depan, seorang petani menggaru ladang. Seorang penggembala, seraya bertelekan pada tongkat, tampak melihat ke langit jernih. Anjingnya duduk sabar, memantau beberapa belas domba yang asyik mencari makan. Sedikit di sebelah kanan, tampak punggung seorang yang duduk ke arah teluk, mungkin memandangi kapal yang berlayar di laut hijau Aegea yang tak diguncang ombak. Di dekat kapal itulah, di permukaan yang praktis tanpa gelombang, tampak sepasang kaki menggelepar di air?sepasang paha dan betis yang memutih sebentar sebelum tenggelam. Itulah tubuh Ikarus yang malang.

Dalam Lanskap dengan Kejatuhan Ikarus, hidup yang normal tampaknya tak terguncang oleh nasib seseorang yang tengah terbanting dan direnggut Maut. Apakah yang hendak diutarakan kanvas itu sebenarnya: bahwa yang terjadi bukanlah sebuah tragedi, melainkan sesuatu yang lucu seperti badut yang tergelincir kulit pisang? Tak berhargakah jiwa anak itu, apa pun kesalahannya? Pertanyaan itu memang mengusik. Dua orang penyair melihat karya Brueghel yang tergantung di museum seni rupa di Brussels itu dan mereka tergerak menulis sajak. Dari William Carlos Williams kita temukan baris-baris pendek seperti telegram, seakan-akan gambaran faktual yang disajikan tanpa gerak emosi. Seluruh sajaknya mengisyaratkan suasana acuh tak acuh?dan kita pun merasakan sebuah gugatan yang tersirat terhadap sebuah tragedi yang dibiarkan berlalu tanpa arti.

Sajak W.H. Auden, dalam Musee des Beaux Arts, memakai kalimat yang lebih panjang, dan dengan protes yang lebih diungkapkan:

Penggaru ladang itu
Mungkin mendengar'suara terempas itu,
teriak yang diabaikan itu
Tapi baginya, itu bukan satu kegagalan penting

Juga kapal yang apik dan mahal itu tentunya melihat "sesuatu yang menakjubkan"?seorang anak jatuh dari langit?tapi toh berlayar terus dengan tenang; "ada pelabuhan yang harus dijelang".

Pada akhirnya lukisan Brueghel adalah contoh dari yang hendak dikemukakan Auden tentang penderitaan. Penderitaan, kata sajaknya, berlangsung, "sementara seseorang makan, atau membuka jendela, atau cuma berjalan-jalan, seperti alpa". Anak-anak "berselancar di permukaan es di sebuah kolam di tepi hutan", sementara "the dreadful martyrdom must run its course" _ "mati syahid yang ngeri itu harus berjalan di arahnya".

Tapi benarkah Brueghel, seperti dikira Auden, menggugat ketidakacuhan itu? Ataukah ia malah merayakannya? Jika diperhatikan, lukisannya memaparkan sebuah lanskap yang seakan-akan disaksikan dari atas, dari langit. Mungkin bagi seorang yang hidup di abad ke-16, di panorama itu tak ada yang harus dipersoalkan. Ia hidup ketika agama jadi percakapan pokok dan bunuh-membunuh terjadi karena percakapan itu: setelah 1550, perang atas nama iman meletup di mana-mana di Eropa antara orang Katolik dan Protestan. Di masa seperti itu, orang akan mengatakan bahwa "Langit" memandang nasib Ikarus sebagai insiden yang tak luar biasa. Ketika kita hanya bicara tentang surga dan keabadian, ketika segala rupa dan peristiwa di dunia sepenuhnya dilihat dari takhta di atas yang kekal, apa arti kesengsaraan manusia? Pentingkah bencana dan kematian?

Barangkali bagi Brueghel, nasib malang Ikarus, kisah seorang anak muda yang terbang dan tak sampai, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari: ada petani yang bekerja dan kapal yang berniaga, tapi ada pula orang yang berikhtiar tapi gawal. Atau mungkin Ikarus sebuah contoh kesia-siaan manusia yang takabur dan lupa berhati-hati. Maka bila ia terjerembap dan mati, biarlah. Mungkin bagi seorang dari abad ke-16, hidup lebih baik dijalani dengan menerima kenikmatan yang ada, seperti penggembala yang mensyukuri musim yang jernih. Atau lebih baik hidup ditempuh dengan kerja yang jujur, dengan membajak bumi dan mengarungi laut. Kenapa Ikarus tak meniru penggaru yang tekun, penggembala yang sabar, dan saudagar yang makmur di kapal itu? Kenapa ia harus melanggar kodrat manusia yang sudah ditetapkan, yakni bahwa ia bukan unggas?

Kita, di abad ke-21, tentu bisa berkata: kodrat manusia tak bisa dirumuskan begitu saja. Ketika kita merasa berhasil merumuskannya, jangan-jangan kita melenyapkan kemungkinan orang untuk berbeda?sehingga siapa saja yang berlainan dari "kodrat" itu akan kita sebut "bangsat" atau "kunyuk", dan kita basmi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atau kita akan terkecoh: dengan merumuskan "kodrat" atau "hakikat", kita tak menduga suatu ketika manusia akan mampu menembus rumus itu. Ikarus memang gagal, tapi seandainya tak pernah ada orang yang berani mencoba terbang, memerdekakan diri dan jadi "ganjil", dunia akan tetap seperti abad ke-16. Tak akan ada Wright Bersaudara, dua orang Amerika yang di tahun 1903 dengan sebuah mesin bisa terbang selama 10 menit di sebuah lapangan di North Carolina?dan dengan itu membuka jalan manusia untuk menjelajah, seperti burung, bahkan lebih dari burung, hingga angkasa tak menakutkan lagi.

Pernah terpikir oleh saya, apa gerangan jadinya seandainya Ikarus, si tokoh mithologi, juga berhasil. Mungkin panorama dalam kanvas Brueghel akan berubah: mungkin penuh sukacita, tapi mungkin juga resah. Sebab telah datang manusia yang mengalahkan alam, dimulai dengan melawan batas tubuhnya sendiri. Siapa yang mampu demikian akan berkuasa atas hal-hal lain. Ia akan melihat dirinya berdaulat dan penuh daya?sebuah gambaran manusia menurut humanisme.

Gambaran humanis ini memang mempesona: manusia jadi subyek yang bebas, yang bisa memutuskan bahwa dirinyalah pusat ukuran segala hal-ihwal. Tapi kemudian orang sadar: ketika manusia menegakkan diri sebagai subyek yang otonom, ia sekaligus membuat yang di luar dirinya sebagai obyek yang tak otonom. Yang "sini" menaklukkan yang "sana". Yang "sana" itu bukan saja langit, ladang, dan laut. Pada gilirannya juga para peladang dan pelaut dan siapa saja yang dianggap tak cukup layak jadi "manusia".

Itulah yang memang terjadi, bahkan sebelum mesin terbang ditemukan. Citra manusia yang serba kuat dan berdaulat itu diperkukuh oleh mereka yang tak hanya menggaru ladang, tapi juga membangun kota, tak hanya menggembala, tapi juga mengukur cuaca, tak hanya melintasi Laut Aegea, tapi menemukan ilmu, mengembangkan seni, memenangi perang.

Di sana kita lihat profil manusia "Eropa". Sebuah peradaban yang dahsyat terbentang, tapi juga kolonialisme. Sang penakluk ujung dunia akhirnya memandang makhluk yang ditaklukkan di ujung itu "belum-manusia": mereka yang layak dihabisi, atau ditindas, atau, dalam kata-kata Franz Fanon, pemikir anti-kolonialisme di Aljazair, "diundang untuk jadi manusia". Dengan kata lain, dunia sang terjajah harus dibentuk agar mengikuti prototipe "manusia" yang disusun oleh dunia borjuis "Barat".

Tapi Perang Dunia ke-II yang kejam pecah, dan kolonialisme goyah, lalu runtuh. Dari segala penjuru datanglah kritik kepada humanisme. Terkadang berlebihan. Terkadang orang lupa bahwa ide tentang manusia sebagai subyek yang otonom itu juga yang mendorong orang-orang terjajah melawan. Di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin mereka tak lagi menerima anggapan bahwa si terjajah adalah kategori "sana" yang "belum manusia", makhluk "terkebelakang" yang tak berdaya. Mereka melawan, mungkin memilih Ikarus?tentu saja Ikarus yang berhasil?sebagai lambang, sebab mereka juga ingin lepas dari penjara, terbang menembus kodrat, menguak takdir.

Tapi ada yang cemas, memang, akan ketakaburan manusia. Ada orang beragama yang kini mengecam humanisme seperti di zaman dulu orang mengecam Ikarus: sebuah contoh kepercayaan diri yang berlebihan, sebuah hubris. Kaum Kristen Kanan bahkan menyamakan "humanisme" dengan "titanisme", pandangan yang menerakan sifat ke-maha-kuasa-an Tuhan pada manusia.

Mereka menolak itu, tentu. Bagi mereka, manusia tak bisa hadir sebagai subyek yang otonom. Ketidakpercayaan kepada manusia pula yang menyebabkan mereka, seperti halnya kaum fundamentalis dalam Islam, ingin agar Tuhan-lah yang menentukan tatanan hidup di bumi, dengan kata dan undang-undang yang pasti.

Tapi tidakkah itu juga sebuah bentuk ketakaburan antroposentris: dilengkapi dengan kata dan undang-undang, Tuhan tetap dimunculkan dengan manusia sebagai model dan ukuran? Tentu saja ukuran itu tak akan pernah pas. Tuhan lebih agung ketimbang kata dan undang-undang, naskah, dan syariah. Kita ingat sayap Ikarus yang mencoba menggapai matahari; ia tak akan sampai?.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Terkini: Faisal Basri dalam Kenangan Anies Baswedan, Chatib Basri, dan Goenawan Mohamad; Jokowi Terima Bos Vale Indonesia di Istana

2 hari lalu

Ekonom Faisal Basri dalam diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk
Terkini: Faisal Basri dalam Kenangan Anies Baswedan, Chatib Basri, dan Goenawan Mohamad; Jokowi Terima Bos Vale Indonesia di Istana

Kepergian Faisal Basri meninggalkan duka, bukan hanya bagi keluarga, tapi dari sejumlah tokoh di Indonesia.


Tangis Goenawan Mohamad di MK: DPR Seharusnya Dibubarkan

16 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad atau GM saat menghadiri audiensi di Mahkamah Konstitusi bersama sejumlah akademisi dan aktivis, pada Kamis, 22 Agustus 2024. Tempo/Novali Panji
Tangis Goenawan Mohamad di MK: DPR Seharusnya Dibubarkan

Goenawan Mohamad ingin menyerukan revolusi, tapi ia tahu biaya revolusi tidak sedikit. Seharusnya DPR dibubarkan.


Goenawan Mohamad Terisak saat Audiensi MK: Serukan Revolusi dan Bubarkan DPR

16 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad atau GM saat menghadiri audiensi di Mahkamah Konstitusi bersama sejumlah akademisi dan aktivis, pada Kamis, 22 Agustus 2024. Tempo/Novali Panji
Goenawan Mohamad Terisak saat Audiensi MK: Serukan Revolusi dan Bubarkan DPR

Goenawan Mohamad dan sejumlah elemen masyarakat beudiensi dengan MK. Mereka menolak rencana DPR yang ingin menganulir putusan MK.


Perjalanan 83 Tahun Goenawan Mohamad, Wartawan yang Sastrawan

40 hari lalu

ekspresi Goenawan Mohamad saat membacakan narasi cerita Den Kisot diiringi Musik Bambu Deka sebagai bagian dari  pameran Sejauh Ini...di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jawa Barat, 15 Februari 2024. Den Kisot ditulis oleh Goenawan Mohamad dengan sutradara Endo Suanda berdasarkan cerita Don Quijote de la Mancha karya Miguel de Cervantes. TEMPO/Prima Mulia
Perjalanan 83 Tahun Goenawan Mohamad, Wartawan yang Sastrawan

Goenawan Mohamad wartawan yang sastrawan itu hari ini berulang tahun ke-83. Ini perjalanan hidup dan karya-karyanya.


Kilas Balik Perlawanan Tempo di Pengadilan Usai Diberedel Orde Baru 30 Tahun Silam

21 Juni 2024

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
Kilas Balik Perlawanan Tempo di Pengadilan Usai Diberedel Orde Baru 30 Tahun Silam

Tepat 30 tahun lalu atau pada 21 Juni 1994, majalah Tempo bersama tabloid Detik dan majalah Editorial diberedel oleh pemerintah Orde Baru. Kilas balik perlawanan Tempo di pengadilan


Perlawanan Insan Pers Buntut Pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik oleh Orde Baru 30 Tahun Lalu

21 Juni 2024

Karyawan TEMPO saat mengadukan kasus pembredelan ke DPR tahun 1994. Dok. TEMPO/Gatot Sriwidodo
Perlawanan Insan Pers Buntut Pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik oleh Orde Baru 30 Tahun Lalu

Hari ini, tepat 30 tahun silam, Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik dibredel pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994. Ini kilas baliknya.


Ayu Utami, Sastrawan Sekaligus Salah Seorang Pendiri AJI Indonesia

21 Juni 2024

Perwakilan dari 29 seniman dan budayawan Indonesia, seniman Ayu Utami memberikan keterangan pers usai menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Senin 1 April 2024. Dalam berkas yang disampaikan seniman dan budayawan menilai menunjukan banyaknya persoalan yang terjadi sejak tahap pencalonan hingga kampanye. TEMPO/Subekti.
Ayu Utami, Sastrawan Sekaligus Salah Seorang Pendiri AJI Indonesia

Ayu Utami penulis novel Saman dan Larung. Ia salah seorang pendiri AJI Indonesia dan turut mengajukan amicus curiae sengketa Pilpres 2024.


Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

9 Mei 2024

Soekarno Presiden pertama Indonesia di Jakarta, saat para fotografer meminta waktu untuk memfotonya Presiden Sukarno tersenyum, dengan mengenakan seragam dan topi, sepatu juga kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya. Sejarah mencatat sedikitnya Tujuh Kali Soekarno luput, Lolos, Dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, hal yang paling menggemparkan adalah ketika Soekarno melakukan sholat Idhul Adha bersama, tiba tiba seseorang mengeluarkan pistol untuk menembaknya dari jarak dekat, beruntung hal ini gagal. (Getty Images/Jack Garofalo)
Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

Presiden Sukarno pernah melarang Manifesto Kebudayaan pada 60 tahun lalu. Apa itu Manikebu dan Lekra yang mengemuka saat itu?


Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

1 Mei 2024

Wartawan Senior Tempo, Goenawan Mohamad berbicara di acara Orasi Tokoh
Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.


Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

30 April 2024

Pendiri Tempo Media, Goenawan Mohammad menyampaikan keynote speech bertajuk Etika dan Tanggung Jawab Sosial Pemanfaatan Teknologi Digital. Diskusi panel dilakukan dalam Puncak Acara Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo yang digelar Selasa, 30 April 2024.
Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.