Karut-marut impor beras belakangan ini membuktikan lemahnya koordinasi antar-lembaga pemerintah. Salah satu bukti adalah masuknya 16.900 ton beras asal Vietnam yang jenisnya ternyata tidak sesuai dengan izin impor. Lolosnya beras ilegal ini juga menunjukkan aparat masih lebih banyak berkutat pada aturan di atas kertas, tanpa kesungguhan mengecek di lapangan. Maka, tak mengherankan, praktek kongkalikong pengadaan komoditas pangan vital itu pun berlangsung subur.
Kisruh beras impor ini bermula dari keresahan pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. Mereka terkejut karena beras medium asal Vietnam membanjiri pasar. Padahal beras jenis ini biasanya didatangkan oleh Perum Bulog, bukan importir swasta. Kalangan importir hanya mendapat izin memasok beras kelas premium untuk segmen tertentu. Misalnya beras permintaan hotel, restoran, dan beras khusus untuk kesehatan. Itu sebabnya, jatah importir non-Bulog memang sedikit.
Kementerian Perdagangan tak cukup hanya mengusut siapa yang memasukkan beras itu. Kementerian mesti mengoreksi kebijakannya yang gampang diselewengkan. Misalnya, ketentuan pemberian kode HS (Harmonization System) yang ternyata kodenya sama antara beras impor umum dan khusus. Ditambah lemahnya pengawasan fisik beras oleh Bea dan Cukai, kesamaan kode itulah yang dimanfaatkan untuk menyelundupkan beras yang sebetulnya berbeda jenis.
Kelemahan itu bisa diatasi bila sejak awal ditetapkan pemberian kode HS berdasarkan jenis beras. Bea-Cukai pun harus tegas dan konsisten mengecek fisik beras, memastikan apakah beras yang masuk jenis medium atau premium. Adalah kewajiban instansi kepabeanan untuk memeriksa setiap barang impor dengan cermat, mulai dari prosedur pendatangan, kelengkapan dokumen, hingga pemeriksaan fisik.
Kementerian Perdagangan harus pula terbuka memberitahukan berapa banyak permintaan beras khusus per tahun. Keterbukaan perlu agar mudah mengawasi apakah kuota itu dipatuhi. Keterbukaan juga penting karena impor beras medium, yang saat ini dipatok 600 ribu ton per tahun, hanya boleh dilakukan Perum Bulog.
Hak eksklusif itu memang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan melindungi petani. Tanpa keterbukaan dan pengawasan ketat oleh pihak pabean, importir beras khusus bisa memanfaatkan celah yang ada untuk menyelundupkan beras standar biasa yang bukan jatahnya.
Pengawasan lain yang mesti juga dilakukan adalah pemberian rekomendasi nama-nama importir oleh Kementerian Pertanian. Seleksi ketat bagi importir yang memenuhi syarat sudah tentu diperlukan. Setelah proses seleksi, kementerian ini juga wajib mengumumkan daftar nama importir yang memenuhi syarat.
Dengan manajemen impor yang transparan namun ketat itu, siapa pun bisa dengan mudah mengontrol apakah beras yang masuk sudah melalui importir yang sah atau tidak. Pemerintah sebaiknya belajar dari kasus impor daging sapi yang tak terbuka sehingga melahirkan skandal kuota daging sapi impor bernilai miliaran rupiah.