Rusaknya jalan di sepanjang jalur Pantai Utara Jawa alias Pantura akibat banjir semakin menggambarkan buruknya kinerja pemerintah. Pemerintah tidak hanya gagal mencegah banjir lewat perbaikan tata kelola air, tapi juga kewalahan menyediakan infrastruktur transportasi yang layak dan andal.
Jalur yang sempat lumpuh selama banjir itu kini rusak parah. Kementerian Pekerjaan Umum mendata sedikitnya terdapat 3.000 lubang dengan kedalaman 10-25 sentimeter di jalur Pantura. Kerusakan terbanyak berada di ruas Karawang-Indramayu. Para pengusaha pun menjerit. Pengiriman barang dari Jakarta ke Surabaya menggunakan truk harus memakan waktu berhari-hari.
Kenapa pemerintah tak pernah tuntas membenahi jalur Pantura? Seluruh ruas di jalur itu semestinya berkonstruksi beton agar tahan lama. Kebiasaan sekadar memoles jalan sehabis musim hujan atau menjelang musim mudik Lebaran harus ditinggalkan. Saban tahun, pemerintah menggelontorkan Rp 1,2 triliun lebih hanya untuk perbaikan. Terkesan bahwa tambal sulam jalur sepanjang 1.300 kilometer itu hanya menjadi proyek mainan para pejabat.
Tak hanya keteter membenahi jalur yang sudah ada, pemerintah juga belum mampu menyediakan jalan alternatif. Pemerintah sudah merancang proyek jalan tol dan jalur ganda kereta trans-Jawa sejak 2004, tapi hingga sekarang belum kelar. Kegagalan ini membuat beban jalur Pantura kian berat. Saat ini, dalam sehari, ada 40 ribu sampai 50 ribu kendaraan yang melewati jalur Pantura. Padahal jalur ini cuma dirancang menahan beban 20 ribu kendaraan sehari.
Proyek rel ganda trans-Jawa lumayan mengalami kemajuan. Tahun ini diperkirakan akan selesai karena hanya sedikit ruas yang lahannya belum dibebaskan. Tapi proyek tol trans-Jawa seakan berjalan di tempat lantaran masih banyak tanah yang belum dibebaskan. Dari sembilan ruas jalan tol yang direncanakan di jalur ini, baru lahan untuk jalan tol Cikampek-Palimanan yang sudah dibebaskan 100 persen.
Kinerja yang buruk itu merupakan rapor merah bagi Kementerian Pekerjaan Umum. Tapi semestinya bukan hanya kementerian ini yang bertanggung jawab. Sebab, proyek penting ini menyangkut banyak urusan, dari pembebasan tanah hingga sederet kebijakan pemerintah yang menyokongnya.
Yang jelas, publik melihat betapa lemah kemampuan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan proyek besar. Jika infrastruktur transportasi di Jawa saja begitu amburadul, orang tentu mudah membayangkan keadaan yang lebih buruk di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Peran pemerintah pun kurang signifikan dalam memacu laju perekonomian lewat pembangunan infrastruktur.
Dari kasus proyek Pantura, terungkap akar persoalannya. Kelemahan kita bukan terletak pada kurangnya gagasan yang indah, melainkan pada kemampuan eksekusi. Itulah pelajaran penting sekaligus pekerjaan rumah bagi pemerintah hasil Pemilu 2014 mendatang.