Memajang artis sebagai calon legislator bukanlah cara tepat untuk menyelamatkan partai politik. Langkah ini mungkin mendongkrak popularitas partai, tapi hanya sementara. Perumusan platform yang sesuai dengan aspirasi masyarakat tetap menjadi kunci untuk mempertahankan eksistensi partai.
Cara pragmatis itu dilakukan oleh hampir semua partai. Partai besar seperti Demokrat, PDI Perjuangan, dan Gokar masih tergoda memasang artis. Begitu pula partai lain, seperti Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Jangan heran bila banyak wajah penyanyi, model, serta pemain dan bintang film bertaburan dalam daftar caleg.
Resep serupa pernah dipraktekkan pada masa Orde Baru. Bedanya, sebagian besar artis hanya dipampang sebagai penarik massa, dan sedikit yang masuk parlemen. Nah, sejak era reformasi, semakin banyak artis jadi politikus. Fenomena ini belum berhenti kendati sebagian dari mereka tak mampu menjadi legislator yang andal. Bahkan ada artis yang malah terjerat kasus korupsi.
Petinggi partai politik semestinya jeli membaca keinginan masyarakat. Publik sudah muak melihat banyaknya politikus yang terjerat kasus korupsi. Orang umumnya menginginkan figur yang jujur, mau bekerja keras, dan antikorupsi. Partai politik seharusnya memajang para kader dan tokoh yang memenuhi kriteria itu.
Khalayak juga mendambakan partai politik yang peduli terhadap problem nyata, seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan transportasi. Semua ini tidak bisa dijawab dengan menyulap para artis menjadi politikus. Dalam waktu sekejap, tidaklah mungkin mereka mampu memahami berbagai persoalan ruwet negara ini. Artinya, mereka tidak bisa diharapkan menjadi pengawas pemerintah sekaligus legislator yang mumpuni.
Partai politik sulit berubah karena umumnya terjebak dalam praktek oligarki internal dan tak bisa menjauhi korupsi. Hal ini membuat partai ditinggalkan masyarakat. Partai Demokrat, misalnya, akan susah menjual lagi jargon "Bersih, Cerdas, dan Santun" setelah banyak kadernya terjerat kasus korupsi. Begitu pula PKS, yang selama ini bersemboyan "Jujur dan Bersih". Tanpa reformasi di internal partai, slogan-slogan itu hanya menjadi lelucon masyarakat.
Menguatnya isu penting seperti korupsi juga membuat pemilahan ideologi lama-nasionalis dan agama-terasa kabur. Inilah perlunya kalangan partai politik berubah dan merumuskan lagi platform politik sehingga lebih menyentuh kepentingan masyarakat.
Keliru besar bila partai politik ingin membendung arus perubahan. Misalnya, berusaha menyetop perang terhadap korupsi agar masalah ini tidak menjadi isu sentral. Begitu pula upaya membodohi masyarakat dengan memajang para artis sebagai caleg. Cara ini bisa sia-sia karena golongan menengah masyarakat kita semakin banyak dan pemilih semakin cerdas.