Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Setan

Oleh

image-gnews
Iklan

Ada satu cerita tentang Yesus dan Setan, dikisahkan oleh seorang pemeluk kebatinan Jawa 30 tahun yang lalu. Ketika Yesus lahir, demikian ceritanya, Tuhan pun memanggil Setan. "Hari ini Yesus lahir," kata Tuhan kepada Si Raja Kegelapan. "Kau akan tamat. Kau akan kalah dalam merebut hati manusia."

Setan terhenyak. Dengan gugup ia pun memohon diri. Ia menghilang ke kamar kerjanya, berpikir keras. Pada hari ketiga ia menemukan jawaban. Ia menghadap. Sembahnya, "Hamba tahu ada sebuah cara ampuh untuk mengalahkan Yesus."

"Bagaimana?" tanya Tuhan.

"Hamba akan bujuk manusia untuk bikin organisasi."

Aneh juga cerita ini. Mula-mula saya tak mengerti kenapa organisasi merupakan hasil bujukan Setan. Bukankah organisasi sebuah ikhtiar untuk menjadi rapi dan kuat, sebuah wadah untuk persatuan, kesatuan, dan keteraturan? Kenapa Si Raja Kegelapan menjebak manusia dengan organisasi?

Akhirnya saya paham bahwa ada yang problematis dalam hubungan iman dengan "organisasi". Bagi seorang kebatinan atau sufi, hal ini segera terasa. Organisasi, dalam mengatur keimanan, akhirnya hadir sebagai penerjemah makna Tuhan saya bagi diri saya. "Tuhan saya" pun pelan-pelan digantikan dengan "Tuhan sang penerjemah". Yang dikatakan Simone Weil tentang Gereja juga berlaku bagi himpunan bentuk lain: "Dalam Gereja, yang dianggap sebagai sebuah organisme sosial, mau tak mau misteri merosot jadi kepercayaan".

Misteri, yang tak akan bisa digantikan oleh doktrin, akan pudar, ketika kepercayaan datang dengan sikap menerjemahkan segalanya dengan pasti dan jelas, juga tentang Yang Maha Gaib. Dalam hubungan itulah organisasi mengandung ketidaksabaran. Organisasi mencegah dan menampik yang meliuk-liuk, terombang-ambing, tanpa disiplin. Ketika organisasi menumbuhkan kekuatan, ia pun menyusun hierarki: di antara orang yang beriman akan ada yang menganggap diri lebih alim, lebih mengetahui, lebih layak. Lapisan kependetaan pun lahir. Seorang teman pernah memperingatkan bahwa juga Islam, yang menyatakan diri tak mengenal lapisan itu, mau tak mau akan membangun kelas pendetanya sendiri, ketika orang menggunakan kekuasaan untuk menerapkan "hukum-hukum Tuhan" dalam kehidupan sosial. Akan ada "kelas" fuqaha dan ulama, mufti besar dan ayatullah agung?pendeknya semua mereka yang, biarpun tanpa sebuah gereja, berada di tingkat atas arsitektur keagamaan.

Memang ada ungkapan, tersirat dalam Quran, bahwa di akhir zaman nanti setiap diri menghadap Tuhan tanpa bisa diwakili siapa pun. Tapi ungkapan itu akan dibatalkan ketika arsitektur keagamaan dibangun, dan sebuah struktur politik mengukuhkannya, katakanlah dengan nama "Negara Islam".

Organisasi mengabaikan tiap pengalaman keagamaan yang dahsyat dan tersendiri?seperti ketika Muhammad di Gua Hira?dan menganggap tiap pengalaman adalah sesuatu yang berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Di dalam organisasi, agama tak lagi seperti yang disebut William James, "sentuhan individual dari sang nasib", the individual pinch of destiny.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata-kata James, yang mengutarakan hal itu dalam karya klasiknya yang terbit 100 tahun yang lalu, The Varieties of Religious Experience, kini memang perlu dilihat kembali. Sekarang pun kita masih bisa melihat agama dalam dua sosok yang digambarkannya.

Ada "pengalaman religius tangan pertama", first-hand religious experience, yakni suatu saat dalam kehidupan para "jenius keagamaan". Dengan paradigma ini, agama adalah "perasaan, laku, dan pengalaman-pengalaman orang per orang, dalam kesendirian mereka, sejauh mereka memahami diri mereka sebagai sedang berada dalam hubungan dengan apa pun yang mereka anggap 'ilahi'."

Sosok yang kedua adalah agama yang oleh James dianggap sebagai "lungsuran" dari pengalaman tangan pertama. "Lungsuran" itu datang kepada kita dalam bentuk filsafat, theologi, dan organisasi eklesiastik.

Jelas, James mengutamakan "pengalaman", bukan "ilmu" atau "teori" atau "organisasi". Bahkan baginya, setelah himpunan orang yang beriman mengorganisir diri, "semangat politik dan nafsu pengaturan yang dogmatik siap untuk masuk dan mencemarkan hal yang aslinya polos bersih itu". Adapun "hal yang aslinya polos bersih itu", the originally innocent thing, punya dorongan "mengarah ke batin" (inwardness) dan merupakan "semangat religius yang spontan". Ketika sebuah agama jadi sebuah ortodoksi, kata James, arah ke batin itu pun surut, dan "mata airnya pun kering", dan "para mukmin hidup sepenuhnya dalam lungsuran dan pada gilirannya mereka akan melempari para nabi dengan batu".

Tentu saja James dapat dikritik. Benarkah begitu "individual" pengalaman religius itu? Mungkin tidak. Pada akhirnya pengalaman itu disentuh dan bahkan menggunakan bahasa manusia. "Iqra!", misalnya. Bagaimanapun, bahasa lahir dari konvensi masyarakat. Bahkan bila dilihat secara ekstrem, bahasa mengandung sifat represif terhadap pengalaman-pengalaman yang unik, yang tak bisa diutarakan dengan ungkapan verbal?dan mungkin sebab itu Roland Barthes menyebut bahasa sebagai "fasis". Tapi pada tiap bahasa, terutama ketika muncul dalam bentuk puisi, selalu ada sesuatu yang memungkiri "surat dan saraf", tak konvensional, ya, saat ketika ungkapan melanggar kejelasan umum dan mengukuhkan kembali misteri.

Pada detik seperti itulah pengalaman religius, perasaan akan kehadiran Tuhan, terasa luput dari alfabet. Pada akhirnya alfabet juga sebuah organisasi, urutan yang hanya dihafal dan tak perlu dihayati. Iman yang tergantung kepadanya akan jadi kepercayaan yang tampak kuat, teratur, tapi seperti tentara berseragam?sebuah mesin pertahanan dan agresi.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

2 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

43 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

48 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

48 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.