Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perang

Oleh

image-gnews
Iklan

Orang-orang yang mengokang senjata kini ingin mengokang juga hati nurani. Bom dan peluru disiapkan, tentara disiagakan, maut mulai merapat, tapi mereka masih bertanya, adakah "perang yang adil"? Lalu, sejenak kemudian, jawaban pun mereka utarakan sendiri: "Ya, ada. Itulah perang kami ini."

Februari 2002, Institute for American Values menerbitkan sebuah naskah yang ditandatangani 60 cendekiawan Amerika, yang pada dasarnya sebuah argumen yang membenarkan kenapa Amerika harus angkat senjata setelah 11 September 2001: "What We're Fighting for: A Letter from America." Teksnya bagus dan pintar: ia bagus karena mengandung prinsip-prinsip yang luhur tentang "perang yang adil"; ia pintar karena ia menghindar dari pertanyaan yang menjebak: manakah perang yang seperti itu?

Surat itu beredar ke dunia. Tak lama kemudian Pentagon menyerbu Afganistan. Pemerintahan Taliban di Kabul dihabisi. Gua-gua di Tora Bora dihajar tanpa kendat. Pasukan pendukung Usamah bin Ladin diobrak-abrik. Sesudah itu, sunyi. Kita tak mendengar lagi, apa pendapat 60 cendekiawan itu. Bisakah perang di Afganistan itu mereka sebut "perang yang adil"?

Kini sebuah perang lain disiapkan. Irak, setidaknya Saddam Hussein dan sekitarnya, diharapkan akan ajur-ajer. Alat-alat penghancur telah disusun.

Di Gedung Putih dan Pentagon mungkin tak ada yang sibuk mempersoalkan akankah perang ini sebuah "perang yang adil" atau sebuah agresi yang sewenang-wenang. Tapi dalam First Things edisi Desember 2002, George Weigel, seorang cendekiawan dari Ethics and Public Policy Center di Washington, DC, ingin menegaskan kembali bahwa dalam menghadapi Irak, Amerika punya alasan untuk bertolak dari persoalan "perang yang adil" itu.

Dalam pandangan Weigel, 30 tahun lamanya orang di Amerika terseret dalam "lupa yang besar" akan tradisi klasik yang membahas perang dari segi moral. Para aktivis, ahli ilmu, dan pemimpin agama mengabaikannya, karena mereka menganggap bahwa argumen tentang "perang yang adil" harus dimulai dari pra-anggapan yang menentang perang dan kekerasan.

Anggapan ini, bagi Weigel, salah. Tak semua kekerasan bersifat jahat: harus dibedakan antara bellum dan duellum. Yang pertama adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan publik dan oleh otoritas publik yang berkewajiban melindungi keamanan orang-orang yang jadi tanggung jawabnya. Yang kedua adalah semacam "duel": penggunaan kekuatan bersenjata untuk tujuan privat dan oleh individu yang privat pula. Karena perbedaan antara bellum dan duellum itulah para pemikir theologi, juga dalam tradisi Kristen, tak serta-merta mengikuti jejak Kristus untuk menemukan kemenangan tanpa kekerasan. Summa Theologiae karya Thomas Aquinas, misalnya, menelaah bellum iustum dalam risalahnya tentang caritas, cinta kepada diri dan sesama sebagai cerminan cinta Tuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi siapa yang menentukan bahwa kekerasan X adalah bellum dan kekerasan Y adalah duellum? Weigel tak memasuki pertanyaan ini?dan argumennya pun boyak. Ia tak akan bisa menjawab bagaimana misalnya akan kita nilai Perang Diponegoro pada abad ke-19 Jawa: adakah perang yang panjang itu pernyataan ketak-puasan pribadi seorang pangeran yang tersingkir? Ataukah itu manifestasi amarah rakyat yang hidup dicengkeram cukai? Bagaimana pula kita menilai perlawanan para partisan ketika Prancis diduduki Nazi: bukankah kita tak bisa bicara tentang kekerasan oleh "otoritas publik", karena otoritas itu tak berada di tangan para pejuang kemerdekaan?

Para juru bicara "perang yang adil", seperti Weigel, memang cenderung bertolak dari anggapan bahwa manusia dapat terjun ke medan tempur dengan "kejelasan moral". "Perang yang adil", begitulah inti argumen mereka, adalah laku dari sebuah subyek yang berniat adil. Tapi betapa jauh konsep yang abstrak itu dari kehidupan, di mana "sebuah subyek" tak dengan sendirinya hadir sebagai sang ethikus yang duduk di depan meja yang rapi. Bukankah selamanya ada keretakan dalam "sebuah subyek"? Bukankah diri tiap kita terdiri dari akal budi yang tampaknya lurus, yang mungkin bertaut dengan nafsu yang terpendam bisa menilai diri sebagai pemilik "kejelasan moral"?

Dalam Alkitab terbaca Yosua menggebuk Yerikho. "Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki ataupun perempuan, baik tua maupun muda?." Di sini kita sebenarnya bisa berbicara tentang kebuasan. Tapi perilaku Yosua dikatakan sebagai "perang yang adil" karena nilai-nilai saat itu hanya ditentukan oleh sebuah sumber yang dinyatakan tunggal, yakni Yahweh. Di luar tata yang satu itu, kita tak mendapat cerita tentang bawah sadar yang busuk dalam diri para juru perang Bani Israel. Dengan sanksi Tuhan, aneka kemungkinan dalam Bani Israel sebagai "sebuah subyek" itu tak hendak dibincangkan.

Namun di zaman pasca-Yosua, ketika sejarah makin bisa bercerita tentang begitu banyak kekejian yang dilakukan "dengan perkenan" Yang Mahabenar, dan Yang Mahabenar bisa tampak dengan pelbagai tafsir, benarkah ada "kejelasan moral" yang seperti kejelasan cermin di salon kecantikan? Kita ragu?dan kita bertambah ragu bila "kejelasan" itu akhirnya ditentukan oleh diri sendiri. Dari membaca Weigel, kesan yang kuat ialah bahwa Amerika bisa, dengan tenang, menilai diri sebagai pemilik "kejelasan moral" itu?bahkan dengan keanekaragaman dan kontradiksi dalam dirinya, bahkan dalam kekuasaannya yang mutlak atas senjata nuklir, dan bahkan dengan pandangan Bush yang penuh syak dan sikap bermusuhan ke dunia.

Betapa menakutkan. Hari ini saya teringat akan selembar kertas kecil yang saya lihat dipasang seseorang di bawah lengkung pualam pintu gerbang Washington Square, di New York, sehari setelah 11 September. Di sana tercantum tulisan tangan yang mengutip Nelson Mandela: "Adalah cahaya cerah kita, bukan kegelapan kita, yang paling menakutkan kita".

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

38 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

43 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

43 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.