Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Herb

Oleh

image-gnews
Iklan
HERBERT Feith meninggal: ia yang tak pernah lagi mengendarai mobil, ia yang telah meninggalkan pelbagai benda/komoditi dari tubuhnya yang kurus dan lusuh itu, ya, ia yang tak akan mengusik lingkungan dengan hasrat dan kekuatan, dan yang tak akan bentrok dengan apa pun dan siapa pun, senja itu tewas, di dekat sepedanya, dalam benturan dengan sebuah kereta api yang lewat. Sesuatu yang umumnya tak akan terjadi di Melbourne, tempat mesin dan sistem adalah hidup sehari-hari. Apa yang bisa disusun dari unsur-unsur cerita ini, kecuali mungkin sebuah amsal, setidaknya bagi banyak orang yang mengenalnya, yang menghormatinya, yang mencintainya, bahwa Herb Feith meninggalkan dunia seperti banyak orang di Indonesia meninggalkan dunia. Di jalan. Kurus. Lusuh. Dalam satu jenis benturan, atau kekerasan, antara yang kuat dan yang tak punya kekuatan. Saya bertemu dengannya di Jakarta sekitar 1963, setahun setelah The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia terbit. Seperti para mahasiswa Indonesia yang setiap kali, sampai menjelang kematiannya, menemuinya dan ditemuinya, saya ingin mendengarkan ia berceramah di sebuah pertemuan kecil yang tertutup. Tapi akhirnya ia yang lebih banyak men-dengarkan. Ia tak hendak menyinggung buku yang dengan segera menjadi karya klasik ilmu politik tentang Indonesia itu; ia teramat rendah hati. Tapi bagi saya, buku itu bukan hanya sebuah karya yang memaparkan, dengan riset yang impresif dan analisis yang orisinal, politik Indonesia di sebuah masa yang menarik, tapi juga sebuah tali batin antara Herb dan negeri yang ditelaahnya, tali yang begitu halus begitu erat sehingga saya tak pernah merasa, tiap kali ia ada di Indonesia, ia seorang ilmuwan yang "menelaah". Herb saya kira tak membaca Foucault, mungkin membaca Edward Said, tapi ia adalah sebuah contoh yang tak terjelaskan sepenuhnya oleh Foucault dan Said: di mana gerangan letak nexus antara "pengetahuan" dan "kekuasaan" itu pada sikap keilmiahan si penulis The Decline of Constitutional Democracy? Sejarawan Anthony Reid, ilmiawan dari satu generasi yang lebih muda, yang seperti banyak ilmiawan muda lain mengagumi Feith, menulis beberapa baris yang sedih kepada sejumlah temannya, begitu ia dengar Herb tak ada lagi. Kata-katanya saya kira bisa menggambarkan betapa pentingnya Herbert Feith dalam dunia penelitian ilmiah, khususnya dalam hubungan antara sebuah pusat studi di "Barat" dan sebuah bidang penelitian di "Timur" (untuk memakai dikotomi Orientalism): Herbert Feith, tulis Reid, "telah memberikan satu watak ethis ke seluruh hubungan Australia-Indonesia, atau utara-selatan." Memang ada perbedaan yang besar dan yang tambah besar di antara kedua sisi itu, dalam hal kekayaan, pendidikan, perspektif, tapi semua itu "seakan-akan jadi kecil dalam cahaya semangatnya yang mengabaikan diri." Watak ethis itu, dan semangat yang mengabaikan diri ituyang tak merumuskan "si Lain" menjadi sesuatu yang diringkus dalam pengetahuan "si Aku"bukanlah sesuatu yang serta-merta didapat dan dicapai. Ilmu-ilmu sosial (apalagi humaniora) menjadi sebuah proses ilmu yang tak gampang, sebab senantiasa berada dalam pelbagai ambivalensi dan ketegangan. Selalu ada persoalan antara "mengetahui" dan "menguasai", antara "mengambil jarak" dan "tak peduli", antara "relativisme" dan "anti-relativisme". Salah satu kritik terhadap The Decline of Constitutional Democracy (antara lain dari Henry Benda) ialah bahwa Feith membuat analisisnya dari asumsi yang problematis: bahwa ada yang "merosot" atau "tak beres" dalam politik Indonesia, sementara belum dilihat tidakkah asumsi itu sebenarnya berdasar pada sebuah model yang belum tentu cocok dengan Indonesia. Dengan kata lain, jangan-jangan di dalam asumsi itu ada suatu proses epistemologis yang meletakkan Indonesia di bawah kekuasaan sebuah tolok ukurdan "mengetahui" pun sama halnya dengan "menguasai". Seingat saya, Feith tak pernah menjawab kritik semacam ini. Namun saya tahu pertanyaan-pertanyaan itu bergema terus dalam dirinya, dan itu mungkin yang menyebabkan ia kemudian tertarik pada analisis Marxis seperti dikembangkan oleh Rex Mortimer. Hanya telaahnya kemudian tak ada lagi yang segar dan mengejutkan. Bertahun-tahun lamanya ia tak menghasilkan karya penelitian yang berarti. Ia teramat jujur, teramat mudah tergetar, teramat rendah hati. Padahal, saya kira, belum tentu ada yang salah dalam asumsi The Decline of Constitutional Democracy. Sebab kritik ala Benda tak akan bisa menghentikan pertanyaan berikutnya: seberapa jauh (atau seberapa dekat) sikap "relativis" itusikap yang menafikan adanya satu standar untuk wilayah hidup yang berbeda-bedadengan semacam apartheid nilai-nilai? Dan jika itu yang dianut, bagaimana seorang ilmuwan menelaah gagalnya demokrasi, efektifnya kediktatoran, korupsi, dan kekerasan? Saya kira saya kenal Herb: ia berusaha benar untuk tak membiarkan analisisnya tenggelam dalam kepekaannya merasakan apa yang adil dan tak adil, kejam dan tak kejam; tapi ia tak akan hanya berpeluk tangan. Hampir seluruh hidup kesarjanaannya mengekspresikan ketegangan itu. Juga ketegangan karena menyadari bahwa "mengetahui", yang dalam derajat tertentu berarti "menguasai", tetap saja tak serta-merta bisa mengubah dunia. Ilmu sosial pada akhirnya memang tak ditujukan untuk menjalankan sebuah tugas mustahil, yakni "mengontrol sejarah"; ia hanyalah sebuah usaha nekat untuk mencoba "memperluas peran akal budi" dalam sejarah itu. Setidaknya, itulah kata-kata yang bisa saya pinjam dari Clifford Geertz, dalam kumpulan esainya, Available Light, ketika ia berbicara tentang "dimensi ethis" kerja lapangan seorang antroplog di negara-negara barusebuah dimensi ethis yang tak pernah terabaikan dalam hidup Herb, sampai ia meninggal pada umur 70, pekan lalu. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Istri Kepala Staf Presiden Moeldoko Meninggal

12 Maret 2023

Ilustrasi tokoh meninggal. Pixabay
Istri Kepala Staf Presiden Moeldoko Meninggal

Almarhum istri Moeldoko itu akan dimakamkan usai salat Dzuhur di Taman Makam Pahlawan Bahagia, Tangerang Selatan.


Miliarder AS Thomas H Lee Ditemukan Tewas di Kantornya

24 Februari 2023

Thomas H Lee, presiden dan CEO, Thomas H. Lee Capital LLC, berbicara dalam The Year After the Year of Private Equity: What Now? panel pada Konferensi Global Institut Milken 2008 di Beverly Hills, California 29 April 2008. REUTERS/Phil McCarten (AS)
Miliarder AS Thomas H Lee Ditemukan Tewas di Kantornya

Miliarder Amerika Serikat, Thomas H Lee, yang dianggap sebagai pelopor investasi ekuitas swasta dan pembelian dengan leverage, meninggal pada usia 78


Raquel Welch, Aktris Top Hollywood 1970-an Meninggal

16 Februari 2023

Pada tahun 2010, penggemar Yoga, Raquel Welch, mengungkapkan beberapa penyesalan bahwa banyak dari awal karirnya yang hanya difokuskan pada lekuk tubuh indahnya. Likecinema.net
Raquel Welch, Aktris Top Hollywood 1970-an Meninggal

Raquel Welch, aktris top Hollywood tahun 1960-1970-an, meninggal dalam usia 82 tahun, Rabu, 15 Februari 2023.


Inoki, Politisi dan Pegulat Jepang yang Pernah Tantang Ali, Meninggal

1 Oktober 2022

Pertandingan antara Antonio Inoki dan Muhammad Ali pada 26 Juni 1976 di Tokyo. Kyodo/Reuters
Inoki, Politisi dan Pegulat Jepang yang Pernah Tantang Ali, Meninggal

Antonio Inoki, bintang gulat Jepang, politisi, dikenal luas karena melawan petinju legendaris Muhammad Ali, meninggal karena sakit langka


SBY Kenang Jasa Hermanto Dardak Bangun Infrastruktur Negeri

21 Agustus 2022

Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut berbela sungkawa pada Emil Dardak, anak dari almarhum Hermanto Dardak di kediaman rumah duka, Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Sabtu, 20 Agustus 2022. TEMPO/Magang/Haninda Hasyafa
SBY Kenang Jasa Hermanto Dardak Bangun Infrastruktur Negeri

SBY menyampaikan dukacita mendalam terhadap wafatnya Hermanto Dardak.


Penyanyi Top 1980-an Olivia Newton-John Meninggal

9 Agustus 2022

Aktris Olivia Newton John melambai saat dia tiba di sesi pemotretan film
Penyanyi Top 1980-an Olivia Newton-John Meninggal

Penyanyi Olivia Newton-John, yang melejit ke puncak tangga lagu pop dunia pada 1970-an dan 1980-an meninggal dalam usia 73 tahun


Presiden Parlemen Eropa David Sassoli Meninggal

11 Januari 2022

Tokoh cendekiawan dari etnis minoritas Muslim Uighur, Ilham Tohti, mendapat penghargaan Sakharov Prize untuk kategori Kebebasan Berpikir dari Parlemen Eropa. Penghargaan diterima oleh putrinya Jewher Ilham dan diberikan oleh Presiden Parlemen Eropa, David Sassoli. Situs Europarl
Presiden Parlemen Eropa David Sassoli Meninggal

Presiden Parlemen Eropa David Sassoli meninggal pada Selasa karena sakit,


Kenang Rachmawati Soekarnoputri, Majelis Syuro PKS: Sosok Patriotik

3 Juli 2021

Putri Presiden pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, bersama Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf al-Jufri dan Wakil Ketua Majelis Syuro Sohibul Iman. Dok: PKS
Kenang Rachmawati Soekarnoputri, Majelis Syuro PKS: Sosok Patriotik

Menurut Salim Segaf, banyak kesamaan pandangan antara PKS dan Rachmawati Soekarnoputri dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa.


Jokowi Ucapkan Bela Sungkawa atas Meninggalnya Rachmawati Soekarnoputri

3 Juli 2021

Keluarga berada disamping mobil jenazah yang membawa almarhumah Rachmawati Soekarnoputri di Rumah Duka Rumah Sakit Pusat Angakatan Darat (RSPAD), Jakarta, Sabtu 03 Juli 2021. Pada 26 Juni 2021 lalu, Rachmawati dikabarkan positif Covid-19 dan dilarikan ke rumah sakit. Tempo/Nurdiansah
Jokowi Ucapkan Bela Sungkawa atas Meninggalnya Rachmawati Soekarnoputri

Rachmawati Soekarnoputri meninggal di RSPAD Gatot Subroto, hari ini, di usia 70 tahun.


Neta S Pane Meninggal karena Covid-19

16 Juni 2021

Neta S. Pane. dok.TEMPO
Neta S Pane Meninggal karena Covid-19

Yon mengatakan sebelum meninggal, Neta S Pane sempat dirawat di rumah sakit karena Covid-19 sejak 5 Juni 2021.