Otoritas Jasa Keuangan semestinya segera mendefinisikan ulang mengenai rahasia perbankan. Sudah saatnya data nasabah perbankan bisa dibuka demi kepentingan pajak. Tentu, pemerintah dan parlemen harus merevisi Undang-Undang Perbankan dan membuat mekanisme yang menjamin data nasabah tidak disalahgunakan.
Masalah penting itu tidak kunjung beres kendati Direktorat Jenderal Pajak sudah lama menginginkan akses data perbankan. Pihak Otoritas dan kalangan perbankan masih menolaknya dengan alasan kerahasiaan data nasabah. Pandangan lama itu tidak seharusnya dipertahankan karena semakin banyak negara mulai mengubah prinsip kerahasiaan perbankan.
Lihat saja Swiss, yang dikenal sebagai negara yang ketat menerapkan kerahasiaan bank. Beberapa tahun lalu, negara ini menyerah ketika Amerika Serikat meminta data nasabah UBS, bank terbesar di Swiss. Dengan persetujuan parlemen Swiss, UBS akhirnya memberikan 4.550 data nasabah warga Amerika yang diduga mengemplang pajak. Langkah ini diikuti pula oleh Prancis dan Inggris, yang meminta Swiss memperbarui tax treaty dengan kedua negara tersebut.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga sudah meluncurkan panduan resmi kerja sama pertukaran informasi otoritas perpajakan antarnegara. Kerja sama ini termasuk pula mengenai informasi data nasabah demi peningkatan penerimaan pajak.
Negara kita pun kesulitan memungut pajak dari orang-orang kaya. Hal ini menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target perolehan pajak. Tahun lalu, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 916,2 triliun atau 92,06 persen dari target. Persentase penerimaan pajak kita atas produk domestik bruto juga termasuk terendah di Asia.
Direktorat Pajak sangat membutuhkan akses data perbankan untuk menggenjot penerimaan pajak. Selama ini, dalam mengejar wajib pajak, mereka seperti berburu di kebun binatang. Penerimaan negara yang digenjot berasal dari para wajib pajak yang kooperatif. Sedangkan wajib pajak yang menyembunyikan aset di perbankan tidak tersentuh.
Undang-Undang Perpajakan sebetulnya mewajibkan lembaga pemerintah dan swasta memberikan data perpajakan, seperti dana nasabah debitor, transaksi keuangan, dan lalu lintas devisa. Tapi kewajiban ini tidak dilaksanakan, dengan alasan, prinsip kerahasiaan data nasabah yang diatur UU Perbankan.
Sederet pengecualian memang diatur dalam UU Perbankan, tapi syaratnya sungguh ketat. Misalnya data nasabah hanya bisa dibuka bila ada permintaan dari Menteri Keuangan kepada petinggi Bank Indonesia. Hal ini berarti hanya data wajib pajak bermasalah yang bisa dibuka.
Direktorat Pajak menginginkan akses yang lebih longgar. Jika perlu, bisa memantau secara rutin data nasabah yang menghindari pajak. Itulah perlunya revisi UU Perbankan. Tentu, perubahan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak memicu pengalihan dana ke luar negeri.