Tak usahlah banyak berharap kualitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 bakal jadi lebih baik. Bahkan publik patut khawatir kinerja mereka bisa lebih jeblok lantaran banyak anggota parlemen yang bermasalah mencalonkan diri kembali. Upaya partai merekrut para mantan aktivis gerakan reformasi juga kurang ampuh untuk mengubah keadaan.
Data yang dihimpun Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menunjukkan 90,5 persen muka-muka lama Senayan kembali mencalonkan diri. Inilah hal yang patut dicemaskan khalayak, meski tidak semua mendapat "nomor jadi".
Jika mereka terpilih kembali, hal itu bisa menjadi bencana besar karena ada kemungkinan kinerja mereka yang buruk selama ini akan terulang. Dalam urusan mengesahkan undang-undang, contohnya, para politikus Senayan itu tergolong sangat malas. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, pada 2010 DPR hanya melahirkan 16 undang-undang. Setahun berikutnya, angka itu naik menjadi 24 undang-undang. Dan pada 2012 sebanyak 30 undang-undang. Jumlah itu melorot drastis pada 2013. DPR hanya mampu menyelesaikan 16 undang-undang dari 75 undang-undang yang ditargetkan.
Bila ditilik dari catatan KPK, kualitas wakil rakyat itu tampak lebih bobrok lagi. Saat ini koruptor terbanyak yang ditangani lembaga antirasuah itu merupakan anggota Dewan. Ada lebih dari 65 anggota Dewan yang telah dibui lantaran korupsi.
Masuknya para aktivis gerakan reformasi yang dulu beridealisme tinggi sempat digadang-gadang bisa mendongkrak kinerja DPR. Namun mereka malah larut. Pelan-pelan idealisme mereka luntur. Gaya hidup mereka juga berubah. Banyak mantan aktivis yang ada di DPR hanya duduk, diam, dan terima duit. Dulu rajin membela rakyat kecil, kini wira-wiri dengan mobil Bentley senilai Rp 7 miliar dan tak peduli urusan rakyat. Yang dulu lantang meneriakkan gerakan antikorupsi kini malah sibuk menggembosi Komisi Pemberantasan Korupsi. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilansir koran ini, Senin lalu, menunjukkan rendahnya kinerja anggota DPR yang juga mantan aktivis 1998. Padahal, dulu, mereka punya rekam jejak dalam rangkaian aksi membela kaum yang terpinggirkan.
Sudah waktunya para calon anggota DPR itu tak dibiarkan mengobral janji seenak udelnya. Publik harus menuntut kontrak politik yang jelas. Mereka harus mendeklarasikan diri sebagai calon legislator anti-politik uang, misalnya, atau membeberkan programnya secara jelas. Partai-partai pun seharusnya lebih mengedepankan caleg yang otaknya "berisi" ketimbang yang cuma bermodal wajah rupawan atau popularitas. Kontrak politik seperti ini sebenarnya sudah dirintis oleh anggota DPR, Budiman Sudjatmiko, di daerah pemilihannya: Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah. Ketika berkampanye pada Pemilu 2009, Budiman hanya berjanji memperjuangkan agar Rancangan Undang-Undang Desa disahkan. Upaya itu pantas diapresiasi, meski sampai kini RUU itu belum juga gol. Hanya dengan kontrak politik, rakyat bisa tahu pasti kesungguhan para caleg.