Badai politik yang kini menimpa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini adalah contoh kegagalan partai mewakili konstituennya. Dalam sistem demokrasi, partai seharusnya hanyalah alat untuk mencapai tujuan utama: mewakili suara orang banyak. Partai memungkinkan demokrasi di negeri dengan jutaan rakyat bisa dijalankan. Mereka yang memiliki nilai dan idealisme yang sama berkumpul dalam satu partai. Partai kemudian menerjemahkan nilai itu dalam visinya. Tapi, dalam kasus Risma, partai bahkan "mengkhianati" visi mereka sendiri.
Tak lama setelah terpilih pada September 2010 atas dukungan dari PDI Perjuangan, Risma sudah mencuri perhatian. Dia membenahi Surabaya yang semrawut menjadi kota yang bersih dan manusiawi. Ia juga menutup Dolly, tempat prostitusi legendaris di Surabaya. Uniknya, Risma melakukan hal itu lebih karena tak tahan melihat gadis-gadis belia dieksploitasi. Risma juga turun langsung memadamkan kebakaran atau memanggul batang pohon. Dia juga bersih dan menampik korupsi.
Risma, tentu saja, merupakan aset PDI Perjuangan. Seperti juga Joko Widodo-Gubernur Jakarta dan mantan Wali Kota Solo-keberhasilannya turut melambungkan nama partai. Menjelang pemilihan umum nasional April nanti, Risma semestinya bisa "dijual" oleh PDI Perjuangan.
Dengan mendukung dan selalu berada di belakang Risma, Jokowi, atau mereka yang semisal, orang akan tahu bahwa PDI Perjuangan memiliki visi yang jelas: antikorupsi, pro-kepentingan rakyat, manusiawi. Tapi PDI Perjuangan gagal menjaga momentum itu. Bahkan mereka gagal menjalankan fungsi partai sebagai corong suara orang banyak.
Itu terjadi saat PDI Perjuangan mendukung Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota. Risma tampaknya kurang sreg dengan Wisnu, karena mereka bertolak belakang dalam banyak hal. Dalam pertemuan pertama dengan Risma setelah dilantik, misalnya, Wisnu sudah bicara soal proyek. Ia seakan menjadi "juru bicara" pengusaha yang ingin membangun hotel di kawasan hijau. Banyak yang menganggap Wisnu hanya akan membelenggu Risma.
Risma pun sempat menyatakan ingin mundur, niat yang segera ditolak warga Surabaya, tak hanya konstituen partai. Mereka berdiri di belakang Risma, menunjukkan langkah PDI Perjuangan adalah kesalahan besar. Ketika PDI Perjuangan berkeras mendukung Wisnu, orang pun bertanya-tanya, sebenarnya apa visi perjuangan politik partai ini.
Tentu PDI Perjuangan punya alasan. Wisnu memang kader partai, tapi itu bukan alasan untuk mengajukannya sebagai wakil Risma. Pasti ada banyak kader PDI Perjuangan di Surabaya yang mampu mendampingi Risma. Konon, Wisnu didukung PDI Perjuangan pusat karena "utang budi" partai kepada ayahnya, Soetjipto Soedjono.
Soetjipto, yang meninggal dua tahun lalu, memang berjasa banyak kepada PDI Perjuangan. Tapi partai lebih banyak berutang budi kepada rakyat. Kepada rakyatlah partai harus mendedikasikan langkahnya, bukan kepada keluarga tertentu. Membalas budi bisa dilakukan dengan cara lain, tidak dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.