Akhirnya Anggito Abimanyu mundur sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, setelah dituding menjiplak tulisan orang lain. Langkah ini patut diapresiasi, tapi persoalannya tak otomatis selesai. UGM harus tetap menelusuri kasus plagiarisme ini untuk menjaga kredibilitas perguruan tinggi.
Alasan Anggito bahwa ia salah mengirim file naskah ke sebuah media nasional sulit diterima akal. Nyatanya, nama dia tercantum sebagai penulis artikel berjudul "Gagasan Asuransi Bencana" yang dimuat di koran tersebut pada 10 Februari lalu. Tulisan ini banyak memiliki kemiripan dengan artikel Hotbonar Sinaga, mantan Direktur Utama Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang terbit di harian yang sama pada 21 Juli 2006.
Kesamaan itu bukan hanya dalam data, tapi juga gagasan. Kasus ini jelas berdampak buruk bagi dunia akademis. Sebagai pejabat publik-kini Anggito memimpin Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama-seharusnya pula ia menjaga integritas dan reputasinya.
Dugaan plagiarisme Anggito mirip dengan kasus Anak Agung Banyu Perwita. Guru besar Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ini juga menjiplak karya penulis lain. Tulisan Banyu yang bermasalah itu berjudul "RI as A New Middle Power" dan dimuat di sebuah koran nasional pada 2009. Artikel ini ternyata serupa dengan tulisan "The Middle Power, Concept in Australia Foreign Policy" karya Carl Ungerer, yang dimuat di sebuah jurnal di Australia pada 2007. Seperti juga Anggito, Banyu akhirnya mundur sebagai dosen.
Tak hanya dalam penulisan artikel, perilaku curang sering terjadi pula dalam pembuatan karya ilmiah. Pada 2010, Institut Teknologi Bandung membatalkan ijazah doktor Mochamad Zuliansyah karena disertasinya ternyata jiplakan. Kasus yang sama juga terjadi di UGM. Rektor universitas ini pernah membatalkan disertasi Ipong S. Azhar pada 2000. Disertasinya mengenai sengketa tanah Jenggawah dinilai menjiplak karya seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Saking seringnya kasus plagiarisme muncul, Menteri Pendidikan Mohamad Nuh sampai mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Aturan ini memuat secara rinci cara mencegah sekaligus mengatasi praktek curang itu. Di antaranya, penulis karya ilmiah diwajibkan mencantumkan pernyataan bahwa tulisanya bukan hasil plagiat.
Toh, plagiarisme masih merajela, termasuk penjiplakan artikel seperti yang diduga dilakukan Anggito. Dosen ekonomi ini memang telah meminta maaf. Penulis asli artikel itu pun memaafkannya. Tapi masalah ini bukan hanya urusan kedua belah pihak. Dunia akademis dan publik juga menjadi korban kebohongan bila penjiplakan itu terbukti.
Itulah pentingnya komisi etik UGM tetap mengusutnya demi menyelamatkan dunia akademis. Khalayak amat berkepentingan atas kejelasan kasus ini karena Anggito memegang jabatan publik.