Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya mendengar protes pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi lembaga ini jelas terancam oleh dua rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah-RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pemerintah sama saja dengan merestui pelemahan KPK bila menarik kedua rancangan itu.
Pimpinan KPK telah mengajukan protes lewat surat ke Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka berkeberatan atas isi dua RUU itu. Ada upaya standardisasi jenis kejahatan, termasuk korupsi, dan penyeragaman prosedur pengusutan perkara. Akibatnya, segala keistimewaan KPK selama ini menjadi tak berarti.
Sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin amat mengherankan. Begitu pula para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka beramai-ramai membantah bahwa rancangan KUHP dan KUHAP bermuatan aturan yang melemahkan KPK. Bahkan para politikus Senayan ngotot menuntaskan pembahasan kedua rancangan itu agar bisa disahkan menjadi undang-undang sebelum masa kerja mereka habis pada Oktober nanti.
Menteri Amir dan politikus Senayan berdalih bahwa undang-undang yang menjadi landasan bekerja KPK merupakan lex specialis atau bersifat khusus, sehingga tidak terikat dengan KUHP dan KUHAP. Alasan ini mengandung jebakan karena Undang-Undang KPK tak mengatur semua hukum acara. Dalam soal penyadapan, misalnya, komisi antikorupsi tentu harus mengacu pada KUHAP karena prosedur penyadapan tidak diatur dalam Undang-Undang KPK.
Semangat penyeragaman itu juga tertuang dalam naskah akademis Rancangan KUHAP. Seperti penegak hukum yang lain, penyidik KPK mesti meminta izin pengadilan untuk melakukan penyadapan. Perkara yang ditangani oleh KPK juga bisa digugurkan oleh hakim pemeriksa pendahuluan-fungsi baru yang diatur dalam KUHAP. Padahal, selama ini perkara yang diproses oleh KPK tidak bisa dihentikan dalam tahapan penyidikan dan penuntutan.
Hampir semua partai politik di DPR tak berkeberatan atas esensi rancangan KUHP dan KUHAP. Selama ini para politikus Senayan umumnya tidak nyaman atas wewenang besar yang dimiliki KPK. Apalagi banyak anggota DPR dan tokoh partai yang dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi.
Masalahnya, publik tentu akan menentang keras bila pemerintah dan DPR tetap ngotot membahas rancangan KUHAP dan KUHP. Pelemahan KPK akibat kedua rancangan ini akan menyurutkan upaya pemberantasan korupsi. Kebijakan itu tentu mengundang pertanyaan besar karena hingga sekarang korupsi di Republik ini masih merajalela.
Publik kini menunggu kejelasan sikap pemerintah. Polemik atas rancangan KUHP dan KUHAP sudah bertele-tele dan kurang bermutu. Presiden Yudhoyono semestinya segera memerintahkan Menteri Hukum menarik kedua rancangan undang-undang tersebut dan memperbaikinya lagi jika tak berniat melumpuhkan KPK.