Penyekapan dan penganiayaan terhadap 17 pembantu di Bogor bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum berat. Hal itu karena pelakunya adalah Mutiara, istri seorang pensiunan jenderal polisi yang notabene semestinya sangat mengerti hukum. Suaminya, Brigadir Jenderal Polisi Mangisi Situmorang, juga mesti dihukum berat karena melakukan pembiaran selama bertahun-tahun.
Sebagai pensiunan polisi, Mangisi semestinya tahu persis Tribrata Kepolisian Republik Indonesia yang menjadi pedoman hidup anggota kepolisian. Salah satunya adalah "Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban".
Tindakan minimal yang bisa dilakukan Mangisi adalah mencegah istrinya melakukan tindakan melawan hukum. Tapi Mangisi justru membiarkan kejahatan itu berlangsung di depan mata. Bahkan ada kesan kuat bahwa Mangisi menutupi kejahatan istrinya karena praktek penganiayaan itu sudah berlangsung bertahun-tahun.
Kasus itu terungkap setelah salah seorang pembantu di rumah tersebut, Yuliana Lewer, melaporkan dugaan kekerasan yang dialaminya ke markas Kepolisian Resor Bogor Kota, Rabu lalu. Yuliana mengaku dianiaya dan tidak digaji selama tiga bulan bekerja di rumah mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan di Markas Besar Polri itu.
Polisi memang telah mengevakuasi 16 pembantu lainnya di rumah Mangisi. Polisi juga sudah memeriksa 24 saksi, termasuk korban, kakak korban, ketua RT, dan para tetangga terlapor. Sayangnya, pemeriksaan atas pasangan Situmorang ini tergolong sangat lamban. Baru kemarin Mangisi dan istrinya dijadwalkan diperiksa di Polres Kota Bogor. Padahal kejahatannya bisa dibidik dengan pasal berlapis-lapis.
Setidaknya ada tiga pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bisa digunakan, yakni dugaan penganiayaan, penyekapan, dan perdagangan manusia (human trafficking). Selain itu, Mutiara dan suaminya bisa dijerat dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Ancaman Undang-Undang Perdagangan Orang, misalnya, memberikan ancaman hukuman 3-15 tahun penjara dan denda hingga Rp 600 juta. Hukuman itu bisa bertambah sepertiga jika pekerja rumah tangga tersebut mengalami depresi atau luka berat. UU Ketenagakerjaan bisa ditambahkan karena para korban tidak dibayar, dan kejahatan ini bisa masuk kategori perbudakan.
Yang lebih memberatkan adalah dugaan kejahatan ini bukan yang pertama kali dilakukan pasangan Mangisi. Pada September 2012, belasan pembantu rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur juga kabur dari rumah Mangisi Situmorang karena mengalami penganiayaan dan tidak digaji. Kasus ini sempat dibawa ke polisi, tapi tidak diproses karena tidak ada pelapor.
Kejadian itulah yang membuat banyak pihak ragu akan iktikad polisi untuk mengusut tuntas kasus ini. Karena itu, polisi mesti bergegas memeriksa kasus ini untuk menghapus keraguan itu sekaligus membuktikan polisi tidak pandang bulu dalam penegakan hukum.