Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi sebaiknya melaporkan penyadapan di rumahnya ke polisi. Langkah ini penting untuk mengungkap pelaku sekaligus mencegah terulangnya kejadian serupa. Tanpa upaya membongkarnya, hal itu justru menimbulkan kesan bahwa isu ini hanya pencitraan demi meningkatkan popularitas.
Orang heran lantaran yang pertama melontarkan kabar itu bukan pejabat pemerintah DKI, melainkan petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo-lah yang mengungkapkan penemuan tiga alat sadap di rumah dinas gubernur itu. Peranti tersebut ditemukan di kamar tidur, ruang makan, dan ruang tamu.
Sekalipun pemasangan alat sadap tersebut mungkin melibatkan kalangan internal, akan lebih elok bila diungkap secara resmi oleh pemerintah DKI. Bagaimanapun, Jokowi mengalami kejadian itu dalam posisinya sebagai gubernur, bukan sebagai pengurus partai.
Petinggi PDIP juga mengungkapkan, sebelumnya Jokowi mengalami serangkaian teror pada tahun lalu, mulai kapal yang hendak ditumpanginya terbakar hingga ban mobilnya yang disobek. Seperti juga isu penyadapan, Jokowi membenarkan teror itu, tapi ia terkesan menganggap enteng dan tak melaporkannya ke polisi.
Jika semua peristiwa itu benar-benar terjadi, Jokowi semestinya bertindak layaknya seorang pejabat publik. Ia bisa langsung melaporkan secara diam-diam ke penegak hukum agar teror dan penyadapan tersebut cepat diusut. Setelah itu, ia bisa mengumumkannya ke publik, apa pun hasil pelacakan polisi.
Cara itu lebih elok bagi seorang gubernur yang memimpin jutaan penduduk Ibu Kota. Penanganan masalah tersebut secara serius juga banyak faedahnya. Kalaupun penegak hukum tak sanggup membongkar pelaku dan motifnya, hasil penyelidikan tentu berguna untuk mengevaluasi pengamanan gubernur dan para pejabat penting DKI.
Kejadian tersebut tidak harus pula dikaitkan dengan rencana PDIP mencalonkan Jokowi sebagai presiden atau wakil presiden mendatang. Penyadapan atau teror juga bisa berkaitan dengan posisinya sebagai gubernur yang mengurusi banyak masalah panas, mulai dari penertiban pasar, pembersihan birokrasi, hingga pembebasan lahan untuk proyek penting.
Karena tak ada pengusutan, orang cenderung berspekulasi macam-macam. Jika penyadapan itu didalangi oleh birokrat, mungkin ia ingin tahu lebih dulu kebijakan yang akan diputuskan sang bos. Bila kalangan bisnis yang bermain, motifnya mungkin ingin mendapatkan proyek atau izin bisnis. Bisa pula penyadapan berkaitan dengan persaingan politik menjelang pemilihan presiden. Kalaupun dugaan terakhir yang kuat, PDIP semestinya membiarkan kesempatan Jokowi untuk menanganinya sendiri masalahnya.
Komunikasi yang jujur selama ini menjadi kekuatan Jokowi. Orang akan kecewa bila PDIP menyeretnya ke arah komunikasi yang tidak lugas, bahkan menjurus ke pencitraan yang berlebihan. Isu penyadapan dan teror bisa menjadi blunder bila tendensi ini yang terjadi.