Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sebuah Obituari untuk Rachel Corrie

Oleh

image-gnews
Iklan

Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu kembalilah ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.

Hari itu 16 Maret yang tak tercatat, karena hari selalu tak tercatat dalam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya "sementara". Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu penghuniyang 60 persennya pengungsijuga pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300 orangorang-orang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan.

Tentara itu mencari "teroris", katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satu-dua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tempat untuk pergi.

Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi.

Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit Najar.

Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di seantero Amerika Serikat, tanah-airmu, tak terdengar gemuruh suara protes yang mengikuti jenazahmu?

Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika, tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu.

Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadikan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung halaman mereka. Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan International Solidarity Movement, untuk mengatakan: "Ini harus berhenti."

Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau menulis, "Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut. Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti."

Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak sedih. Ia dalam umur yang sebenarnya masih pingin pergi dansa, punya pacar, dan menggambar komik lagi untuk teman-teman sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia stop; bersalahkah dia? Beberapa kalimat dalam surat kepada ibunya menggambarkan perasaannya yang intens: "Ngeri dan tak percaya, itulah yang kurasakan. Kecewa."

Ia kecewa melihat "realitas yang tak bermutu dari dunia kita". Ia kecewa bahwa dirinya ikut serta di kancah itu. "Sama sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini," tulisnya, "Bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang mereka inginkan, Rachel, dan apa yang kau minta? Berangsur-angsur kau pun tahu: kau tak menghendaki sebuah rumah yang begitu nyaman, begitu "Amerika", hingga si penghuni tak menyadari sama sekali bahwa ia sebenarnya berpartisipasi dalam sesuatu yang keji, yakni "dalam pembantaian". Itulah sebabnya kau berangkat ke Palestina. "Datang ke sini adalah salah satu hal yang lebih baik yang pernah kulakukan," begitu kau tulis pada 27 Februari 2003. "Maka jika aku terdengar seperti gila, atau bila militer Israel meninggalkan kecenderungan rasialisnya untuk tak melukai orang kulit putih, tolong, cantumkanlah alasan itu tepat pada kenyataan bahwa aku berada di tengah pembantaian yang aku juga dukung secara tak langsung, dan yang pemerintahku sangat ikut bertanggung jawab."

Ia menuduh dirinya sendiri ikut bersalah. Tapi ia meletakkan kesalahan yang lebih besar pada pemerintahnya. Rasanya ia betul. Saya kira ia bahkan bisa juga menggugat jutaan orang Amerika lain yang senantiasa membenarkan apa yang dilakukan Ariel Sharonhingga dalam keadaan perang dengan Irak sekalipun, dari Washington DC datang tawaran satu triliun dolar untuk bantuan militer langsung kepada Israel, di celah-celah berita tentang orang Palestina yang ditembak dan dihalau, di antara kabar tentang anak-anak Palestina yang tewas. Bukan maincuma beberapa hari setelah seorang Amerika tewas ditabrak buldoser di Kota Rafah!

Jika ada kepedihan hati di sana, kau pasti mengetahuinya lebih intim, Rachel. Dari lumpur Kota Rafah itu kau pasti mengerti apa yang jarang dimengerti orang Amerika: kekerasan bisa muncul di puing-puing itu, sebagai bagian dari usaha untuk, seperti kau katakan dalam suratmu, "melindungi fragmen apa pun yang tersisa". Segalanya telah direnggutkan. Kau akan bisa menunjukkan bahwa Usamah bin Ladin dan Saddam Hussein, dengan wajah mereka yang setengah gelap, menjadi penting karena mereka bisa bertaut dengan gaung Palestina di mana segalanya telah direnggutkansebuah pantulan dari keluh lama yang jadi hitam. Sampai hari ini, yang terdengar sebenarnya adalah sebuah gema dari geram bertahun-tahun yang terkadang kacau, terkadang keras, dan senantiasa kalah.

Senantiasa kalahdi Yerusalem, di Kabul, dan, sebentar lagi, di Bagdad.

Tapi adakah kalah segala-galanya? Tidak, kau pasti akan bilang, semoga tidak. Dalam suratmu bertanggal 28 Februari kau ceritakan kepada ibumu sesuatu yang menyebabkan engkau merasa lebih mantap sedikit, di antara perasaan pahitmu menyaksikan hidup yang dibangun oleh ketidakadilan. Tak semuanya ternyata hanya ngeri, tak percaya, dan kecewa. Di celah-celah luka yang merundung penghuni Palestina yang kau kenal di Rafah, kau dapat menyaksikan sesuatu yang lain dari kepedihan. Kau menemukan sesuatu yang belum pernah kau lihat dalam hidupmu sebelumnya: "satu derajat kekuatan dan kemampuan dasar manusia untuk tetap menjadi manusia". Dan kau punya sepatah kata untuk itu: dignity.

Tapi apa kiranya yang bisa didapat dari dignity, dari harga diri, yang menyebabkan manusia tak melata di atas debu sebelum menggadaikan segala-galanya? Tak banyak, tapi juga sangat banyak.

Seperti Bagdad yang akan jatuh, yang lemah akan tetap roboh. Tapi di depan tubuh yang tergeletak di lumpur, tubuh yang terjerembap dan menuding ketidakadilan, kemenangan sang superkuat sekalipun akan terhenti: ia hanya ibarat sebuah buldoser yang sekadar menghancurkan. Genggaman itu kosong. Penaklukan itu ilusi.

Sebab itu, Rachel yang ada di surga, semoga namamu selalu akan kembali. Kini memang saya bimbang, tapi masih ingin saya percaya bahwa hidup selalu membutuhkan yang lain, sesuatu yang bukan fotokopi diri subyek yang bertakhta. Saya masih ingin percaya bahwa tak mustahil akan ada sebuah ruang di mana yang lemah tak terusir, dan yang lain bisa sewaktu-waktu berteriak "Stop kau!" dan sebab itu merdeka.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

18 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

23 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

23 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

49 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

55 hari lalu

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.