Lakon asap kebakaran hutan yang selalu berulang saban tahun menjadi bukti betapa amburadulnya kebijakan pemerintah. Sudah lebih dari satu dekade negeri ini menjadi "produsen" asap kebakaran hutan, tapi tak pernah ada tindakan yang menyeluruh untuk mengatasinya. Korporasi-korporasi penyebab kebakaran dibiarkan melenggang.
Alih-alih menjatuhkan sanksi, pemerintah pusat dan daerah malah sibuk berdebat soal kapan status darurat asap kebakaran itu ditetapkan. Padahal status darurat itu--yang notabene dipakai untuk mempercepat pencairan dana--hanyalah soal teknis. Ada persoalan yang esensial, yakni menyeret korporasi pembakar hutan ke meja hijau. Itu pula yang terjadi dalam dua pekan terakhir, saat beberapa daerah seperti Riau dibekap kabut asap selama berhari-hari.
Selama ini, setiap kali ada kebakaran hutan, semua menimpakan kesalahan pada petani-petani kecil yang tinggal di dekat hutan-hutan di Sumatera atau Kalimantan. Mereka dianggap sebagai musabab kebakaran. Saat ini ada 24 orang yang ditangkap karena dianggap sebagai biang kebakaran hutan, namun tak ada satu pun dari mereka yang berasal dari perusahaan perkebunan besar.
Modus lempar batu sembunyi tangan ala pengusaha-pengusaha sawit raksasa itu selalu dilakukan setiap kali kemarau tiba, saat musim pembabatan hutan dimulai. Perkebunan-perkebunan sawit besar lazim membayar sekelompok orang untuk pembersihan lahan. Karena alasan biaya dan kepraktisan, orang-orang ini kemudian membakar hutan. Korporasi-korporasi itu tutup mata terhadap tindakan tersebut, atau malah diam-diam menganjurkan cara ini.
Organisasi nirlaba Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengungkapkan kabut asap di Riau kali ini bermula dari pembukaan 500 hektare hutan oleh sebuah perusahaan. Badan usaha ini mengantongi izin konsesi seluas 21 ribu hektare di provinsi itu. Titik api di hutan Riau, yang semula hanya 70 titik, bertambah menjadi 1.234 titik dengan luas sekitar 1.200 hektare lahan. Area itu termasuk kawasan hutan tanaman sagu milik masyarakat. Selain kehilangan mata pencaharian, penduduk desa terpaksa mengungsi. Kebakaran itu juga membuat sejumlah penerbangan menuju Pekanbaru dialihkan ke Batam. Pemerintah daerah setempat tak sigap memadamkan api. Mereka malah menyalahkan pemerintah pusat yang tak kunjung turun tangan. Seharusnya polisi dan pemerintah memfokuskan diri menjerat korporasi besar pembakar hutan. Sebab, merekalah penyumbang terbesar bencana asap. Majalah Tempo pernah mengungkap peran perusahaan perkebunan raksasa dalam bencana asap pada laporan utama berjudul "Asap Inc.", Juli setahun silam. Sekarang bencana itu terulang lagi.
Perangkat hukum untuk membidik sang pembakar hutan pun sudah komplet. Ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pembakar hutan, baik perorangan maupun perusahaan, dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara dan didenda Rp 10-15 miliar. Aturan ini, sayangnya, bak pistol mejan. Tak pernah ada korporasi yang dijerat. Para kepala daerah pun tetap gemar mengobral izin pembukaan hutan secara serampangan. Walhasil, negeri ini sepertinya bakal menjadi pengekspor asap abadi.