Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih Wahiduddin Adams dan Aswanto sebagai hakim konstitusi. Keduanya figur yang biasa saja. Padahal mereka menduduki posisi penting dan memiliki wewenang besar.
Wahiduddin sebelumnya menjabat Direktur Jenderal Perundang-undangan di Kementerian Hukum. Adapun Aswanto merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Mereka adalah dua di antara empat calon yang direkomendasikan tim pakar yang beranggotakan, antara lain, Saldi Isra, Natabaya, dan Ahmad Syafii Maarif
Sulit menilai kinerja tim pakar karena waktu mereka sungguh mepet. Wewenangnya pun terbatas: hanya menyortir dari sebelas calon hakim konstitusi yang telah mendaftar ke DPR. Padahal kualitas para calon yang tersedia umumnya biasa saja. Banyak calon tak memahami hukum tata negara, bahkan istilah yang paling elementer dalam ilmu hukum semacam ultra petita.
Sejumlah calon juga dipertanyakan soal sumber kekayaannya dan integritasnya. Aswanto, yang "hanya" dekan, misalnya, diketahui memiliki "hobi" mengoleksi mobil. Ia mengaku memiliki Mercedes-Benz, Honda CR-V, Honda Freed, dan Daihatsu Terios. Wahiduddin juga diragukan keberaniannya untuk berbeda pendapat dengan Patrialis Akbar, bekas atasannya yang kini juga jadi hakim konstitusi.
Terbatasnya pilihan calon hakim konstitusi merupakan buah dari sistem seleksi yang masih amburadul. Upaya membenahi hal ini, termasuk kriteria calon hakim konstitusi, sebetulnya telah dilakukan lewat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi. Sayang, undang-undang yang bermula dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri.
Proses seleksi calon hakim MK kini sesuai dengan aturan sebelumnya, yakni diserahkan kepada DPR, Mahkamah Agung, dan pemerintah. Tiga lembaga inilah yang berhak mengusulkan pengangkatan hakim konstitusi. Dewan sebetulnya mulai memperbaiki proses seleksi, antara lain dengan melibatkan tim pakar. Tapi langkah ini tidaklah cukup.
DPR semestinya membentuk tim seleksi dengan masa tugas yang lebih panjang. Tim ini perlu diberi wewenang menjaring secara aktif para figur yang berkualitas dan berintegritas di seluruh penjuru Tanah Air, bukannya menjadi tukang sortir. Hanya dengan cara seperti inilah kita bisa menampilkan hakim konstitusi yang benar-benar mumpuni sekaligus tidak mempan "dibeli".
Dengan kualitas dan integritas para hakim konstitusi sekarang, termasuk dua hakim yang baru terpilih, sulit untuk berharap Mahkamah Konstitusi bisa kembali menjadi lembaga berwibawa. Kasus Akil Mochtar, yang terang-benderang menunjukkan putusan Mahkamah ternyata bisa dibeli, telah membuat wibawa lembaga ini anjlok ke titik nadir.
Tentu, masih tersedia banyak kesempatan bagi Aswanto dan Wahiduddin untuk membuktikan diri sekaligus menjawab segala keraguan itu.