Perang mereda di Irak, dan mungkin Nur hilang dari ingatan kita.
Ia baru 12 tahun. Kepang rambutnya diikat dengan band merah. Beberapa jam ia tergeletak di Rumah Sakit Kindi. Di sebelahnya Kadir, adiknya, bocah lima tahun, dengan hem kotak-kotak. Keduanya anak keluarga Sabah dari distrik Baladiyah di Bagdad Timur. Tadi pagi, kata seorang tetangga, sebuah roket meluncur dari pesawat Amerika yang terbang rendah. Roket itu meledak di rumah keluarga itu. Rumahnya hancur, Nur dan Kadir tewas.
Di seberang kamar itu si ibu terbaring. Bajunya berlumuran darah sampai ke ketiak. Seorang anaknya yang lain terhenyak di lantai di sebelahnya, tak sadar bahwa ia menduduki darah ibunya. Dokter yang merawat perempuan itu berkata, "Tak bisa ditolong lagi."
Saya baca cerita ini dari laporan Suzanne Goldenberg di harian The Guardian, 9 April 2003. Seandainya tidak, apa yang akan saya ketahui tentang Bagdad di tengah pertempuran, meskipun berjam-jam menatap CNN?
Televisi telah membuat sejarah jadi satu seri tontonan. Jurnalisme jadi aksi tersendiri. Peliputan nonstop selama 24 jam harus dibuat tak membosankan. Dan kita pun terpukau. Juga kita aman. Bom menggelegar, api berkobar, tapi selalu dengan jarak yang cukupseakan-akan di sana tak ada kekejaman.
Mungkin kekejaman berubah. Dulu orang Roma datang ke amfiteater menonton adu gladiator. Mereka asyik menyaksikan leher seseorang ditusuk tombak,darah muncrat, dan yang tewas memekik. Kini di televisi, tak terdengar teriak apa pun. Tak ada bau jangat terbakar oleh api mesiu. Tak ada sepotong kaki gadis yang terkena misil dan terlontar ke langit-langit di distrik Awa. Tak ada Safiah, si bungsu 5 tahun yang remuk bersama kamarnya yang meledak.
Tapi kita tahu ada anak yang terbunuh, dan di situlah kekejaman itu: kita senang bahwa kita tak ikut merasakan ngeri dan sakit di saat pembantaian terjadi.
Jurnalisme TV"medium cool," kata McLuhanmenyisihkan kita dari deru dan debu sejarah. Tiap sekian jam, setelah 200 anggota Garda Republik mati dan 18 penduduk sipil tewas, sebuah intermezo: seorang yang berpakaian rapi menghadapi peta, menjelaskan bagaimana perang berlangsung dan siasat apa yang dipakai. Ia setenang seorang komentator TV Jakarta yang menganalisis pertandingan Lewis vs. Holyfield di Miami. Di uraiannya, agresi dan bentrok telah jadi masa lalu, dan sebab itu rapi.
Memang pelbagai stasiun pemancar tak hendak mempertontonkan yang berdarah, yang bernanah, seram, dan memuakkan. Bukankah, kata mereka, TV tak boleh mengumbar kebuasan agar, seperti produk budaya massa, bisa laku atau memukau? Reservoir Dogs Tarantino menyajikan tubuh-tubuh yang bersimbah darah ditembaki; Si Pitung Nawi Ismail memperlihatkan biji mata yang copot dicongkel tangan. TV tak mau memajang itu.
Ia ingin "dingin". Ia ingin menjaga selera orang sopan. Dalam hal Fox News di kancah perang di Irak, ada agenda lain: agar pasukan Amerika tampak seperti pahlawan pembebas betul-betul. Untuk jadi propaganda mudah: walaupun TV kini mampu mengisahkan perang pada saat bunuh-membunuh benar terjadi, persamaan waktu itu justru menyesatkan kita. Ia tak disertai persamaan ruang. Kamera akan mengisahkan pertempuran di sekitar Basra ketika Anda mengikutinya, di Sawahlunto, sambil mengunyah keripik singkong.
Dan apa arti "kenyataan"? Teknologi telah kita beri mandat untuk meneguhkan bahwa yang kita lihat bukanlah sebuah fantasi. TV dan jurnalismenya membuat "kenyataan" lebih kuat lagi: gambar itu bersuara dan bergerak. Tapi hal ihwal jadi "sementara", melintas, dan terlupakan.
Mungkin orang yang paling mengerti hal ini adalah Menteri Penerangan Irak di hari-hari terakhir kekuasaannya. Kita tahu di depan kamera TV ia bohong, dan ia tahu ia bohong. Tapi bukankah "kenyataan" telah jadi pertanyaan besar, dan segalanya toh akan segera berlalu? Mungkin itu sebabnya Fox News meningkat rating-nya selama perang, karena bagi orang Amerika yang mau percaya, ini perang yang bersih, hingga mereka bertepuk dan berniat memilih George W. Bush kembali.
Darah mereka yang kalah, juga anak-anak, dengan cepat hilang dari daftar realitas. Ketika perang hanya sebuah pertunjukan, ketika kekejaman dengan cepat jadi masa lalu, ketika ingatan jadi pendek oleh kecepatan informasiapa arti korban? Ada gunanyakah Nur ditampilkan?
Stasiun Al-Jazeera ingin menjawab pertanyaan itu dengan menegaskan bahwa ia harus tetap diingat, ketika CNN melupakannya. Mungkin sebab itu dalam perang di Afganistan militer Amerika mengebom pusat pemberitaan Al-Jazeera di Kabul, dan di Bagdad mereka menembak juru kameranya. Sungguh berlebihan. Bukankah besok kamera itu toh harus pergi ke tempat lain, untuk cerita lain, dan kematian hanya rasa sakit "sementara"?
Dulu, di zaman ketika TV belum berkuasa, kamera wartawan foto lebih mampu untuk "mengabadikan". Susan Sontag membahas itu dalam Regarding the Pain of Others, sebuah risalah yang cemerlang tentang fotografi di masa perang. Ia ragu benarkah fotografi kini telah berkurang dampaknya ketika menampilkan korban. Tapi ia juga mencatat bahwa fotografi memberi isyarat campur. "Hentikan ini, ia mendesak. Tapi ia juga berseru, 'Betapa hebat tontonan ini!'."
Itulah yang terjadi dengan karya Ernst Friedrich pada tahun 1924, Krieg dem Kriege! (Perang Melawan Perang!). Album ini, dalam kata-kata Sontag, adalah "sebuah perjalanan keliling foto tentang puing dan pembantaian sepanjang empat tahun." Dengan 180 foto yang diambil dari arsip militer dan rumah sakit, Friedrich ingin bersuara: Lihat, Jerman, betapa buas peperangan!
Buku itu dicetak-ulang 10 kali sampai tahun 1930. Tapi tak lama kemudian, Hitler mempersenjatai Jerman kembali. Sebuah perang enam tahun pun meletus, dan 20 juta orang sipil terbunuh. Perang rasanya tak bisa menutup buku.
Goenawan Mohamad