Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Wibisana

Oleh

image-gnews
Iklan

Untuk setiap negeri selalu ada konflik kesetiaan, dilema, sejumlah variasi penyelesaian. Setiap kita yang mengenal epos Ramayana tahu bahwa ada jalan Wibisana.

Nama itu memberi kita kearifan tentang betapa tak sederhananya hubungan manusia dengan sesuatu yang disebut "tanah air", terutama ketika pilihan besar dan menyakitkan harus diambil. Seorang patriot, seorang pengkhianatbisakah kita selamanya pasti dengan kategori ini?

Dari Bagdad, di tahun 1968, Kanan Makiya, seorang anak arsitek terkenal Irak, pergi belajar arsitektur ke Amerika Serikat. Sejak itu ia tak kembali. Kini ia mengajar di Universitas Brandeis. Di tahun 1989 ia menulis sebuah buku tentang kekuasaan Saddam Hussein dan Partai Baath yang mencengkeram Irak, Republic of Fear. Kemudian ia menulis Cruelty and Silence. Beberapa tahun lamanya ia memakai nama Samir al-Khalil. Kini ia dikenal sebagai seorang intelektual Irak yang hidup di luar negeri yang mencita-citakan sebuah Irak yang demokratis, sekuler, liberal, di mana perbedaan tak dilindas oleh nasionalisme yang selama ini merundung Timur Tengahbaik nasionalisme Baathis maupun Zionis.

Karena itu Makiya bertepuk tangan untuk Amerika yang menyerbu Irak. Ketika di televisi ia saksikan tentara AS memasuki Bagdad dan patung Saddam diruntuhkan, ia pun menulis di New York Post, "Thank you, America." Baginya, Amerika "telah bertempur untuk sebuah perang yang adil, meskipun ditentang oleh negara-negara yang meletakkan kepentingan komersial dan kepentingan lainnya di atas penghancuran tirani".

Kita tahu Makiya salah. Jutaan orang yang menentang perang itu melakukannya karena harus melawan dalih Gedung Putihdalih yang mengandung doktrin yang agresif, dusta, ketidakadilan, hasrat imperialisme yang angkuh, yang disertai senjata yang mengerikan. Pendek kata: nafsu yang destruktif bagi hubungan damai di muka bumi.

Kita tahu Makiya salah, tapi saya tak akan bisa mengecamnya seperti Edward Said mencercanya di mingguan Al-Ahram. Said menganggap Makiya seorang yangseraya menulis tentang Irak dari tempat yang amanpraktis tak punya kesetiaan. Ia berada "di antara banyak bangsa dan budaya, dan tanpa komitmen yang jelas kepada siapa pun juga (kecuali kepada kariernya sendiri yang naik)".

Saya tak bisa mengecam seperti itu karena saya lihat Makiya juga dalam diri Said: keduanya datang dari keluarga elite Arab, lama hidup di luar Timur Tengah, dan menulis tentang wilayah itu dengan bergelora tapi dari tempat yang aman. Bila Makiya hidup di antara "banyak bangsa dan budaya", Said juga selalu merasa "tak lengkap" bila hadir di antara orang Amerika ataupun orang Arab, seperti diakuinya dalam autobiografinya, Out of Place. Kedua-duanya orang di luar dan sekaligus di dalam, asing dan sekaligus tak asing.

Tentu ada beda besar. Said mengecam dengan sengit, tajam, dan tepat apa yang disebutnya sebagai narratheme dalam percakapan publik di Amerika kini: patriotisme yang berkibaryang menganggap Amerika 100 persen adalah segumpal niat baik. Sejarah yang diabaikanseakan-akan permusuhan terhadap Amerika kini muncul tiba-tiba, seakan-akan tak pernah ada Perang Vietnam, intervensi di Amerika Latin, sikap yang tak adil terhadap Palestina.

Makiya tak menyentuh hal itu. Ia justru melihat sikap "anti-Amerika" yang berkutat di Timur Tengah hanya melahirkan teror, fundamentalisme, dan kediktatoran. Ketiga-tiganya tak membuat dunia Arab lebih baik. Ia melihat pelbagai risalah politik Edward Said, bahkan karya besarnya, Orientalism, hanya memberi bahan kaum apologis dunia Arab yang tak hendak mengakui, seperti dikatakan seorang tokoh dalam Cruelty and Silence, bahwa "penyakit itu ada pada diri kita, datang dari kita dan mengeram dalam kita".

Di sini saya tak bisa mengatakan Makiya salah. Juga Said tidak salah. Guru besar Universitas Columbia itu menghadapkan pengeras suaranya ke kuping orang Amerika, Makiya ke kuping orang Arab dan Irak. Saya teringat akan jalan Wibisana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bertahun-tahun lamanya pangeran Alengka ini menyaksikan kemanusiaan yang ambruk di bawah kekuasaan Rahwana. Tapi ia tak berdaya mengalahkan raja yang digdaya ini. Ia pun meninggalkan ibu kota.

Di seberang selat, beribu-ribu prajurit kera bersiap melintas dan menggempur. Mereka bagian dari koalisi yang dipimpin Rama, pangeran dari Ayodya yang datang untuk menuntut balas. Beberapa belas tahun yang lalu, Rahwana telah menculik Shitabegitulah kita kenal dari cerita termasyhur ini.

Saya bayangkan Wibisana menemui Rama. Ia berpihak kepada orang Ayodya yang sakti ini, yakin bahwa itulah satu-satunya cara untuk mengakhiri zaman jahiliah Alengka. Tapi saya bayangkan berhari-hari sebelumnya ia bergulat dengan pertanyaan: apa arti Alengka baginya?

Apa arti "tanah air"? Sebuah tempat yang begitu keramat hingga atas namanya segala halketidakbebasan, kebrutalan, intoleransiharus bisa diterima? Atau sebuah tempat yang begitu berharga hingga mesti segera dibersihkan dari rezim yang keji, kalau perlu dengan kekuatan asing?

Tak mudah menjawabnya. "Bangsa" bisa selalu memukau. "Tanah air" bisa menyayat hati. Ia tak hadir di luar sejarah. Ia dibangun dari harapan dan kekecewaan, euforia dan trauma, dan juga cita-cita yang tak selamanya selesai dirumuskan.

Dalam sosoknya yang konkret itu sebuah "bangsa" atau "tanah air" juga dapat dilihat sebagai bangunan yang semukesemuan yang hendak ditutup-tutupi oleh nasionalisme. Dengan atau tanpa Marxisme, orang tahu bahwa sebuah nasion terdiri dari pelbagai unsur, tafsir, dan kepentingan yang bisa saling bertabrakan.

Maka ada penyelesaian Wibisana. Ada penyelesaian Makiya. Dengan muka masam saya baca kata-katanya, "Thank you, America." Tapi hanya dengan muka masam.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

3 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

49 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.