Sudah dua bulan berlangsung, program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Nasional belum berjalan mulus. Gagasan besar melayani kesehatan publik ini masih terantuk berbagai persoalan. Masalah yang muncul bukan cuma soal teknis penerapan di lapangan, melainkan lebih serius daripada itu. Misalnya, lemahnya koordinasi antarinstansi akibat regulasi pendukung yang belum terbit. Dari soal itu saja, kekacauan bermunculan.
Salah satu dampak yang sudah terjadi adalah lambatnya pembayaran klaim rumah sakit oleh pemerintah. Padahal rumah sakit sudah mengeluarkan biaya perawatan dan pengobatan yang tidak kecil untuk pasiennya.
Di sisi pasien pun, ketidakjelasan regulasi menyebabkan banyak peserta Jamsostek--jaminan sosial yang sudah lama ada--dirugikan. Meski menurut program ini peserta Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS, dalam prakteknya mereka bisa ditolak berobat.
Ada pula persoalan lain akibat regulasi yang tak tersosialisasi dengan baik. Dari berbagai daerah, keluhan bermunculan karena sistem rujukan yang berjenjang menyulitkan pasien. Rujukan penting untuk memastikan pasien mendapatkan perawatan yang tepat. Rujukan berlapis juga berguna untuk proses validasi. Namun sistem ini juga berakibat penanganan pasien menjadi lambat.
Bahkan, dengan proses validasi ketat itu pun, program BPJS mudah dimanipulasi. Di beberapa daerah dilaporkan, pasien kelompok jalur mandiri, yaitu yang tidak tergolong kelompok miskin, mengakali agar bisa mendapat perawatan rumah sakit di kelas lebih tinggi. Caranya, hanya beberapa hari menjelang masuk rumah sakit, mereka mendaftar sebagai peserta BPJS di kelas yang lebih tinggi. Akibatnya, mereka dilayani dengan standar yang sebetulnya bukan haknya.
Semua masalah itu harus segera ditangani agar kekacauan tidak berlanjut. Memang kekisruhan ini sebagian terjadi karena proses pelaksanaan BPJS yang minim persiapan. Lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, program ini tergolong terlambat dijalankan. Ini terjadi karena aturan pelaksanaan baru terbit tahun lalu. Akibatnya, penerapan BPJS pun terburu-buru.
Setelah dua bulan berjalan, minimnya persiapan tak bisa lagi dijadikan alasan. Program ini tak boleh gagal hanya karena kurangnya koordinasi dan kesulitan di lapangan. Melalui program ini, kelompok rakyat miskin mendapat subsidi pembayaran premi. Maka, tak boleh lagi ada kisah orang miskin yang ditolak berobat di rumah sakit.
Pegawai negeri dan karyawan swasta pun mendapat fasilitas yang sama. Bedanya, mereka harus membayar premi. Tapi, ini pun tak mahal, dimulai dari Rp 25 ribu hingga Rp 60 ribu per bulan. Sangat murah, karena praktis seluruh risiko kesehatan, dari sekadar sakit perut hingga operasi jantung yang bisa memakan biaya ratusan juta rupiah, ditanggung. Maka, sayang sekali jika program yang sangat penting ini--konon bahkan lebih bagus daripada program Obamacare di AS--gagal.