Sebagai supreme auditor, Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya bebas dari kepentingan politik. Prinsip ini perlu dipegang dalam memilih ketua baru BPK setelah Hadi Poernomo memasuki masa pensiun April nanti. Lembaga ini sebaiknya tidak memilih anggota yang berlatar belakang politikus untuk menjadi ketua.
Meski hanya akan menjabat sampai Oktober mendatang, ketua baru amat penting karena merupakan simbol BPK. Ia pun mesti memimpin penyelesaian audit sederet kasus yang menjadi sorotan publik, seperti proyek jalur Pantura, bantuan sosial di Provinsi Banten, proyek TVRI, dan SKK Migas.
BPK jangan sampai mengulang kesalahan Mahkamah Konstitusi yang memilih Akil Mochtar sebagai ketua. Akil, yang lama berkecimpung di Partai Golkar, ternyata tak sanggup menjaga marwah MK. Ia malah terjerat skandal suap.
Tak semua politikus itu buruk. Tapi politikus yang biasa menyelesaikan masalah dengan lobi dan kompromi tidaklah cocok buat posisi sepenting Ketua BPK, yang memerlukan ketegasan. Jika lembaga ini dipimpin oleh politikus, semakin mudah pula kalangan partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat mempengaruhi hasil audit.
Para anggota BPK amat menentukan wajah lembaga ini karena merekalah yang memilih ketuanya. Pemilihan internal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Mekanisme itu berbeda dengan masa sebelumnya, ketika ketua dan wakil ketua diangkat oleh presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang BPK juga memberi wewenang besar bagi DPR untuk mengusulkan dan memilih para anggota BPK. Tak seperti penyaringan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang terbuka, pendaftaran kandidat anggota BPK berlangsung tertutup. Tidak ada pula panitia seleksi independen yang menyortir para calon. Jangan heran bila delapan anggota BPK sekarang didominasi para politikus. Mereka antara lain para mantan legislator di Komisi Keuangan dan Perbankan. Komisi ini pula yang mewakili Dewan dalam menyeleksi anggota BPK.
Perbaikan mekanisme rekrutmen itu hanya bisa dilakukan dengan mengoreksi Undang-Undang BPK. Proses pendaftaran dan pemilihan anggota lembaga ini perlu dibenahi sehingga tak menjadi monopoli DPR. Panitia seleksi sebaiknya terdiri atas unsur pemerintah, masyarakat, dan lembaga lain yang dipercaya publik. Dengan cara demikian, kita bisa berharap BPK bakal diisi orang-orang yang kompeten dan berintegritas.
Tanpa perbaikan undang-undang, independensi BPK akan terus-menerus diragukan. Bagaimanapun, para anggota BPK amat berperan dalam menentukan kesimpulan akhir hasil audit. Akibatnya, hasil audit lembaga ini akan dicurigai sebagai pesanan dari partai politik atau dipengaruhi kepentingan politik. Kecurigaan ini akan semakin besar bila BPK dipimpin seorang politikus.
Itulah pentingnya memilih figur yang tepat untuk menggantikan Hadi Purnomo, seraya menanti perbaikan mekanisme rekrutmen anggota BPK.