Sudah tepat bila Komisi Penyiaran Indonesia berencana memberikan sanksi berat bagi lembaga penyiaran pelanggar aturan pemilihan umum. Lembaga penyiaran itu--radio ataupun televisi--menggunakan frekuensi milik publik. Frekuensi ini terbatas, sehingga perlu diatur dengan undang-undang. Karena terbatas, mereka tak boleh menggunakannya sesuka hati, termasuk untuk kepentingan partai atau individu yang bakal berlaga dalam pemilihan umum. Maka, penggunaan semena-mena frekuensi milik umum itu merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sudah seharusnya pelanggarnya dihukum.
Komisi berencana mengenakan sanksi berupa pencabutan hak siar. Sanksi berat ini diambil bila lembaga penyiaran, terutama televisi, melanggar aturan main dalam iklan kampanye. Sikap keras Komisi ini ditunjukkan karena pelanggaran yang terjadi sudah keterlaluan. Sejak hari pertama kampanye saja, pelanggaran sudah bermunculan, padahal kampanye akan berlangsung hingga tiga pekan.
Menurut Komisi, hampir semua stasiun televisi swasta melanggar ketentuan penayangan iklan kampanye. Pelanggaran terjadi karena sebagian besar stasiun televisi swasta merupakan milik tokoh partai politik yang kini tengah bertarung menjelang pemilihan umum legislatif 9 April nanti. Mereka memperlakukan televisinya sebagai "televisi politik", media kampanye untuk meraih sebanyak mungkin suara dalam pemilu nanti
Kampanye di televisi tentu saja tak dilarang selama memenuhi ketentuan. Saat ini, ketentuan yang berlaku sesuai dengan kesepakatan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran, dan Komisi Informasi, televisi boleh memasang iklan kampanye maksimal 10 spot per hari dengan durasi 30 detik per spot.
Ketentuan itulah yang ditabrak. Pada hari pertama kampanye saja, Komisi mencatat betapa banyak pelanggaran oleh stasiun televisi swasta. Partai NasDem, misalnya, beriklan di Metro TV dengan 12 spot iklan. Lalu, Gerindra dengan 14 spot di Trans TV. Partai Hanura, yang pemiliknya merupakan calon wakil presiden dari partai ini, lebih jorjoran. Mereka memasang 13 spot di RCTI, 13 spot di MNCTV, dan 15 spot di Global TV. Adapun Golkar menayangkan 14 spot iklan di TV One, 15 spot di ANTV, dan 16 spot di Indosiar.
Komisi Penyiaran tentu tak bisa bertindak sendirian untuk mewujudkan pemberian sanksi itu. Langkah koordinasi antara Komisi dan Kementerian Komunikasi, seperti yang akan dilakukan, sudah tepat. Tanpa melibatkan Kementerian, sanksi yang dikenakan hanya akan menjadi hukuman di atas kertas. Peran Kementerian penting karena mereka bisa memberikan rekomendasi ke pengadilan ihwal perlunya pencabutan izin siaran stasiun televisi yang melanggar ketentuan.
Untuk itulah, penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian, Komisi Penyiaran, dan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum patut disegerakan. Dengan nota ini, sanksi berat yang diketok oleh Komisi terhadap stasiun televisi yang bermasalah benar-benar bertaji, bukan dianggap angin lalu seperti yang terjadi selama ini.