Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Nasionalis

Oleh

image-gnews
Iklan

Hari ini saya teringat Samadi, seorang laki-laki kurus yang kini mungkin sudah tak ada lagi, karena 16 tahun yang lalu itu umurnya 60, dan ia miskin, dan ia terdesak.

Sebenarnya ia punya sepetak pekarangan dan sepetak sawah di Desa Nglanji, di Kecamatan Kemusu, Boyolali. Tapi pada tahun 1987 itu ia harus melepaskan miliknya. Ia hidup di wilayah Kedung Ombo.

Sejak 1969 Negara telah memutuskan, sebuah waduk besar akan dibangun di wilayah itu. Sungai Serang, 90 kilometer di tenggara Semarang, harus dibendung. Petani yang bertahun-tahun hidup di wilayah seluas 37 desa di tiga kabupaten itu harus dipindahkan. Mereka tak akan disia-siakan, kata Negara, sebab ada ganti rugi. Wilayah baru juga disediakan.

Tapi Samadi menolak. Ia salah satu dari 1.700 kepala keluarga yang ingin bertahan.

Bertahan, melawankata itu sama, sebab di masa itu kehendak pemerintah tak bisa dibantah. Presiden sendiri menyebut sikap Samadi dan para tetangganya yang tak bersenjata itu ambalela, memberontak. Sebab, Negara berniat baik, kata presiden sampai para lurah. Negara ingin memperbaiki sistem pengairan sawah ladang di wilayah itu, yang miskin, yang tanahnya kuning berkapur, dan hasil padinya hanya empat ton tiap hektare.

Tapi Samadi menolak.

Di atas, orang bertanya, kenapa. Saya ingat ada seorang penduduk yang menjawab, "Karena para petugas kelurahan memaksa kami." Para petugas itu datang ke rumah-rumah, dan para petani disuruh cap jempol menyatakan setuju menerima uang ganti rugi dan siap pergi bertransmigrasi. Kalau tidak, mereka dibentak-bentak, bahkan dipukuli.

Juga Samadi. Ia mencoba menolak untuk menerima uang ganti rugi, tapi pada suatu hari ia digiring ke kantor Koramil. Di hadapan camat, muka orang tua itu digampar. Laki-laki berumur 60 tahun itu menyerah. Ia membubuhkan cap jempol persetujuan, dan melepas pekarangannya yang seluas 2.700 meter persegi untuk ditukar uang Rp 1,5 juta.

Ia memang masih menyimpan sepetak sawah dan sebuah gubuk yang tak diungkapkannya kepada orang-orang kelurahan. Di sanalah ia bertahan. Dan di sanalah dipasangnya sehelai Merah Putih di tiang setinggi 10 meter. Tiap pagi ia memandang ke bendera itu. Dengan cara itu, katanya, "Saya masih bisa merasa mempunyai negeri."

Hari ini saya teringat bendera dan kalimat sedih petani miskin itu: "supados taksih ngrumaosi nggadhahi nagari". Ada tiga patah katanya yang penting: ngrumaosi (merasa), nggadhahi (mempunyai), nagari (negeri). Dengan kata lain, sebuah "negeri" tak pernah benar-benar hadir di depan kitaia hanya dilambangkan dengan sehelai benderanamun kita merasa perlu mempunyainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk apa sebenarnya? Seandainya ia berada bersama mereka yang sekarang menentang "globalisasi", Samadi akan mengatakan, "Tidak, kita ternyata tak bisa hidup di dunia tanpa tapal batas." Pada setiap orang selalu ada kebutuhan untuk tergabung dalam sebuah komunitas, dan sebuah "imagined community" seperti dalam uraian termasyhur Bennedict O'Anderson tentang "nasion" bisa sangat berarti bagi hidup seseorang.

Saya teringat Samadi. Tiap pagi ia memandang ke arah Sang Merah Putih, dengan rasa sayu. Tapi saya tak bisa menduga, adakah ia seorang "nasionalis". Ia berbicara tentang "negeri", tapi pada saat yang sama ia menampik "Negara". Nasionalisme, setidaknya dalam sejarah Indonesia dan di seantero geografi Asia dan Afrika ketika melawan kolonialisme dan menang, berangkat dari ide kedaulatan. Kedaulatan ini ditegakkan di sebuah wilayah, dengan sejumlah warga dan sebuah kekuasaan yang disebut "Negara", untuk menjaga dan mengelola semua itu.

Maka kaum nasionalis tak selamanya ingin membedakan, apalagi memisahkan, "Negara" dari "negeri". Mereka cenderung mempercayai bahwa ada hubungan alamiah antara Negara ("kekuasaan") yang berdaulat di satu wilayah dan penghuni wilayah itu. Tapi Samadi membuktikan tidak.

Mungkin ia memang bukan seorang nasionalis, mungkin ia seorang patriot. George Orwell menggambarkan "patriotisme" sebagai pengabdian kepada satu tempat tertentu dan satu cara hidup tertentu yang dianggap yang terbaik di dunia, tapi hal-hal yang tak hendak dipaksakan kepada orang lain. "Patriotisme pada dasarnya defensif," kata Orwell. Sebaliknya nasionalisme "tak terpisahkan dari hasrat akan kekuasaan".

Saya kira Samadi ingat akan Kumbakarna. Kesatria bertubuh raksasa dan bertampang seram itu mempertahankan negerinya dari serbuan pasukan Rama, meskipun ia menampik Rahwana, yang melambangkan kekuasaan dan kedaulatan Alengka, tanah airnya sendiri. Kumbakarna tahu ia akan kalahkonon ia mengenakan pakaian putih sebelum berangkat perangdan ia memang gugur. Tapi ia telah menunjukkan, seperti Samadi yang terpojok tapi mengibarkan bendera, bahwa kaum nasionalis bisa keliru. "Negeri", berarti wilayah dan penghuninya, dan "Negara" bisa berselisih tajam.

Itulah yang dicemaskan Bung Hatta pada tahun 1945. Ia menyarankan agar hak-hak warga negara dicantumkan dalam konstitusi. Sebab, seperti yang terjadi di Jerman di bawah "Nasionalisme-Sosialisme", Negara dapat mengekang warga, atas nama sebuah totalitas, atas nama persatuan dan kesatuan, dan bisa membentak, "Kalian ambalela!" seperti hardik Presiden Soeharto ke arah para petani yang bertahan di Kedung Ombo

Ketika sejumlah orang membela Samadi dan kawan-kawannya dengan mengerahkan bantuan organisasi-organisasi di luar negeri, untuk membuat Bank Dunia menyimak protes di dusun-dusun Kemusu itu, seorang menteri juga menghardik, "Tuan-tuan bukan nasionalis!"

Antara ambalela ,"memberontak", dan "bukan nasionalis" ada kaitan yang langsung: sebuah penolakan mutlak. Yang beda berarti "asing" atau "ganjil", sesuatu yang layak ditenggelamkan, seperti dusun Samadi di Nglanji itu, untuk menciptakan sesuatu yang kukuh, padu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.