Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

The Clowns

Oleh

image-gnews
Iklan

Hari itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti.

Saya mendatangi mereka dan bertanya: "Ada apa, ya, bapak-bapak dan ibu-ibu?" Mereka menjawab, serentak: "Kami semua ingin jadi calon anggota DPR."

Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ramai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Lebaran di Stasiun Gambir.

D-P-R. Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? "Dewan Perwakilan Rakyat"? Sebuah jawatan dengan sekian ratus lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruangan itu tak pernah bertanya. Atau saya keliru. Sebab mereka sebenarnya pernah bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu juga: "Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?"

Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka berkeringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka serak.

Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang tertutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan sejumlah gelas kopi dan sejumlah batang rokok yang mengedarkan asap. Mereka tak akan keluar dari sana walaupun sejurus untuk menjawab pertanyaan orang yang berdesak-desak itu. Diam adalah emas, kata pepatah yang mereka pasang di pintu. Keputusan kami harus ditaati. Disiplin itu indah.

Tapi ada juga yang menduga dan mengatakan bahwa mereka sebenarnya tak tahu harus menjawab apa. Pendeknya: mereka telah membuat Daftar itu, artinya sederet nama-nama, dengan atau tanpa kriterium, dan menyuruh para sekretaris mengetiknya siang-malam, dan menamakan nama-nama itu "calon legislator". Lalu diumumkan.

Tentu tak pernah jelas apakah yang mereka susun itu: sejumlah orang yang kelak akan bekerja membuat undang-undang yang sesuai dengan cita-cita partai? Sejumlah orang yang secara teratur dan rajin datang ke rakyat pemilih dan mendengarkan apa yang diinginkan dan diamanatkan? Atau sejumlah konco? Atau sehimpun penyokong? Beberapa ratus penyetor upeti dan kesetiaan? Yang pasti, daftar itu kelak akan disebut juga daftar "wakil rakyat", tapi bahkan orang-orang itu sendiri tak yakin apakah mereka bisa dipanggil demikian.

Apa kemudian panggilan mereka yang tepat? Mungkin pertanyaan ini tak penting sama sekali. Berangsur-angsur saya sadar: saya sebenarnya sedang melihat sebuah persiapan pertunjukan di sebuah gedung komedi. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan terlintas di pikiran saya: Badut? Mereka badut?

Seorang teman yang kalem menjawab: "Ya, mungkin." Lalu ia menambahkan, dengan nada yang lebih kalem: "Tapi tak ada salahnya. Biarkan datang para pelawak. Keadaan sedang kacau. Send in the clowns...."

Isn't it bliss?
Don't you approve?
One who keeps tearing around,
One who can't move...
Where are the clowns?
Send in the clowns.

Dia pun menggumamkan lagu Stephen Sondheim itupetilan terkenal dari musikal A Little Night Music yang kini dilupakan. Sebuah senandung sayu dari New York tahun 1973, yang menurut hemat saya tak sepenuhnya tepat untuk masuk ke dalam sebuah percakapan tentang politik Indonesia di tahun 2004.

Tapi bukankah memang demikian: setiap kali di sebuah pertunjukan sirkus terjadi kesalahan atau kecelakaan, sang manajer akan memberi perintah, "Send in the clowns!", "Bawa masuk para badut!" Lalu para pelawak akan muncul ke depan panggung, pura-pura berdesak, pura-pura bertengkar, jumpalitan, menari-nari, dan penonton tak akan tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres di panggung itu tadi....

Teman saya punya cerita bahwa awal mula kehebohan ini sebenarnya memang sebuah kecelakaan yang benar-benar terjadi di balik panggung: sejumlah pemain sirkus politik yang mencoba meloncat dari trapeze terjungkal. Ajaib: mereka tidak mati. Mereka hanya berubah wujud: menjadi badakseperti dalam lakon Ionesco Les Rhinoceros.

Dalam lakon ini, penduduk sebuah kota kecil semua berubah menjadi badak berculadan hanya Berenger, seorang penduduk kota yang lumrah, tapi menolak konformitas, yang tetap jadi manusia.

Kata teman saya itu, mungkin tak ada seorang Berenger di balik panggung sirkus kita itu, tak ada seorang yang mau melawan konformitas yang telah menyebabkan para tokoh politik menjadi badak. Sebab itu manajer sirkus (siapa dia, tak kita ketahui) semakin panik. Ia sadar sesuatu yang amat mencemaskan tengah berlangsung. Maka ia pun mengatur agar penonton, orang ramai itu, tak tahu. The show must go on. Sebuah ilusi harus dibangun. Dan badut-badut dikerahkan....

Sorry, my dear!
And where are the clowns
Send in the clowns

Don't bother, they're here.

Penonton, orang ramai itu, memang kemudian tak menyadari bahwa sejumlah badak baru, hasil sebuah metamorfosis yang aneh, berbaris di balik pentas. Lalu mereka bertepuk, dan kemudian pulang.

Tapi di ruangan yang saya sebut di atas, pemandangan yang tak ada duanya di dunia itu belum juga hilang: sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti. Mereka semua ingin jadi calon anggota DPR.

Isn't it rich?

Isn't it queer?

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

3 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Vonis 7 Anggota Nonaktif PPLN Kuala Lumpur Lebih Rendah daripada Tuntutan Jaksa, Ini Hal-hal yang Meringankan

34 hari lalu

Hakim Ketua Buyung Dwikora (tengah) bersama Hakim Anggota Budi Prayitno (kiri), dan Arlen Veronica (kanan) berdiskusi saat memimpin sidang pembacaan dakwaan kasus dugaaan tindak pidana pemilihan umum (pemilu) terkait penambahan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mendakwa tujuh terdakwa yaitu Umar Faruk, Tita Oktavia Cahya Rahayu, Dicky Saputra, Aprijon, Puji Sumarsono, A Khalil dan Masduki Khamdan Muchamad. ANTARA/ Rivan Awal Lingga
Vonis 7 Anggota Nonaktif PPLN Kuala Lumpur Lebih Rendah daripada Tuntutan Jaksa, Ini Hal-hal yang Meringankan

Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada seluruh terdakwa PPLN Kuala Lumpur itu masing-masing sebesar Rp 5 juta.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Ricuh di Bawaslu Papua Karena Dugaan Kecurangan Suara, Wakapolres Yalimo Terkena Lemparan Batu

54 hari lalu

Kabid Humas Polda Papua, Kombes. Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo. Dok Polda Papua
Ricuh di Bawaslu Papua Karena Dugaan Kecurangan Suara, Wakapolres Yalimo Terkena Lemparan Batu

Sekelompok massa menyerang Kantor Bawaslu Papua karena mereka menduga ada kecurangan suara saat rapat pleno di Distrik Abenaho.


Tim Advokasi Peduli Pemilu: Pemilu 2024 Jadi Pementasan Nepotisme di Panggung Demokrasi Indonesia

54 hari lalu

Ratusan massa Aksi Rakyat Semesta melakukan aksi dukung hak angket kecurangan pemilu di depan kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat 1 Maret 2024. Dalam aksinya massa membawa tiga tuntutan utama yang mereka sebut sebagai 'Tritura'. Yakni, turunkan harga sembako, dukung hak angket, dan makzulkan Presiden Jokowi. TEMPO/Subekti.
Tim Advokasi Peduli Pemilu: Pemilu 2024 Jadi Pementasan Nepotisme di Panggung Demokrasi Indonesia

Tim Advokasi Peduli Pemilu melakukan uji materi terhadap UU Pemilu agar penguasa tidak lagi sewenang-wenang saat pemilu.


Pemilu 2024 Tingkatkan Kecemasan dan Depresi, Begini Rinciannya

56 hari lalu

Perawat merapikan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa di Rumah Sakkit Khusus Daerah (RSKD) Dadi, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin, 12 Februari 2024. Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi menyiapkan fasilitas berupa tempat tidur dan tenaga profesional spesial psikiatri bagi calon legislatif (caleg) yang depresi akibat gagal terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024 nanti. ANTARA/Hasrul Said
Pemilu 2024 Tingkatkan Kecemasan dan Depresi, Begini Rinciannya

Penelitian menemukan Pemilu 2024 berpengaruh terhadap meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi pada masyarakat.


Bukan Hanya Komeng, Perolehan Suara Sejumlah Artis Kalahkan Politisi Berpengalaman. Siapa Saja Mereka?

20 Februari 2024

Penampilan Melly Goeslaw semakin unik dengan face shield yang bentuknya tak kalah unik hasil rancangan Rinaldy A Yunardi. Sebelumnya, Melly juga kerap mengenakan face shield dengan bentuk yang tak biasa dalam berbagai acara. Foto: Instagram
Bukan Hanya Komeng, Perolehan Suara Sejumlah Artis Kalahkan Politisi Berpengalaman. Siapa Saja Mereka?

Sejumlah artis pendatang baru di politik ungguli politisi pengalaman. Ada Komeng, Verrell Bramasta dan lainnya.


Tugas dan Wewenang Komeng Jika jadi Anggota DPD

16 Februari 2024

Foto pencalonan Alfiansyah Bustami Komeng sebagai Daftar Calon Tetap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat yang ditampilkan pada surat suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Foto bergaya nyeleneh ini dianggap menarik perhatian pemilih saat pencoblosan. ANTARA/KPU
Tugas dan Wewenang Komeng Jika jadi Anggota DPD

Perolehan suara Komeng melesat di pemilihan DPD. Apa saja tugas dan fungsinya jika terpilih?