Di pucuk bukit Corcovado yang bongkok, tubuh Kristus menjulang 38 meter ke atas, menyembul di atas awan pagi. Tangannya terentang.
Patung raksasa yang terpancang 700 meter di atas permukaan laut ini seakan-akan melihat jauh ke bawah. Lewat bukit-bukit hutan tropis yang hijau, akan tampak Rio de Janeiro. Di dataran itu, ratusan bangunan tinggi beratap papak berhimpun dari sudut ke sudut, seakan-akan semuanya dirancang dengan serentak. Kota ini, seperti kota-kota lain, memang tergesa-gesa.
Nun di salah satu ujungnya akan kelihatan pasir putih tepian Atlantik, meskipun dari bukit Corcovado kita tak akan melihat apa yang berjajar di pantai itu. Kita tak akan melihat orang-orang yang membuka tubuhnya ke matahari, mengisap panas yang seakan-akan besok bakal habis di Ipanema.
Di kota, di pantai, di bumi, dan jasmani, siapa yang bisa punya seluruh waktu, keabadian itu?
Di pucuk bukit Si Bongkok, Kristus Penebus yang tegak tinggi itu mungkin sebuah impian untuk menangkap keabadian yang selalu luput. Tangannya terentang 20 meter, seakan-akan dengan tenang menahan zaman, dan jika kita lihat dari arah kakinya, wajahnya berada di dekat langit yang tak berubah.
Tapi saya tak bisa menangkap apa sebenarnya yang hendak diutarakan oleh monumen dari batu abu-abu ini. Paras Yesus dalam pahatan Art Deco tahun 1931 itu rapi dan apik, dengan senyum tersungging di bibir, tapi tanpa pathos. Tak ada kepedihan dan rasa belas dalam "Sang Penebus". Cristo Redentor ini hanya jauh, tinggi, menarik, dan bisa kita capai dengan naik lift.
Turis-turis pun datang, memotret. Di bawah pedestal batu marmer, ada sebuah ceruk yang dibuat untuk sebuah kapela kecil. Di ruang itu tampak sebuah altar modern, tiga deret kursi kayu dengan punggung tinggi yang dipernis. Lebih mirip sebuah bar.
Paus pernah datang ke sini. Tapi masih bisakah orang berdoa, sebenarnya?
Hari ini tak ada orang yang berdoa. Tapi mungkin ini memang bukan tempat berdoa. Tiba-tiba saya ingat sesuatu yang lain: patung besar Buddha yang termasyhur di Kamakura, Daibutsu perunggu yang setinggi 11 meter dan seberat 100 ton. Arca itu duduk menggunung hitam seakan-akan sebuah sosok yang pejal. Anak-anak bermain naik ke punggungnya. Di situlah tampak bahwa tubuh itu berongga.
Saya tak tahu apakah karena itu ada yang terasa ringan, artifisial, dan kosong dalam kehadiran Amitabha ini; ia bersih terawat di taman Kuil Kotokuin, seakan-akan sebuah benda antik di pekarangan yang menunggu tamu. Saya juga ingat Masjid Hassan di Casablanca. Bagi saya ia masjid abad ke-20 yang paling indah di muka bumi. Tapi pada saat ia mempesona, ia hanya sebuah peristiwa estetik. Yang terasa adalah sebuah keelokan tanpa aura.
Selama sejarah berabad-abad, manusia selalu memberikan yang terbaik dan termahal untuk memuja Tuhan. Tapi juga di pucuk Gunung Corcovado kita tak tahu apa yang dirayakan: kebesaran Tuhan, atau kebesaran manusia yang mampu membangun sesuatu yang dahsyat tentang kebesaran Tuhan.
Mungkin karena saya hidup di zaman ketika kesalehan tampak di mana-mana tapi bersama itu juga berkerumuk kekuasaan manusia. Menatap Cristo Redentor di gunung Brasil, melihat Buddha sebagai Amitabha dari abad ke-13 di Jepang, mengunjungi masjid megah di Maroko, Malaysia, dan Indonesia abad ke-20, kita memang mau tak mau menyaksikan sesuatu yang tak terus terang diakui: bahwa manusia telah menaklukkan Tuhan secara diam-diam.
Agama telah jadi bagian dari pameran "kelarisan". Monumen besar di atas gunung, rumah ibadah yang gilang-gemilang, upacara yang melimpah-ruahsemua itu memang bukan hanya ciri zaman ini. Tapi zaman inilah yang membuat para pengkhotbah jadi juru jual yang ingin menghimpun konsumen sebanyak-banyaknya, lewat televisi, lewat mimbar atau pertemuan akbar.
Kata kuncinya adalah "laris". Tak mengherankan bila akhirnya ziarah dan ibadah diiklankan seperti pariwisata. Ajaran pun kian bisa berkompromi dengan kecenderungan pasar. Konsumen harus puas.
Tapi di situ pula manusia menang. Doktrin bisa tetap dihafal, tapi setiap hari, yang sakral dibiarkan bertaut dengan yang profan, yang suci jadi bagian dari hidup yang berdosa. Di Rio de Janeiro, karnaval yang meriah dengan gerak dan kostum yang gila sebermula adalah bagian untuk merayakan akhir puasa Paskahsebagaimana grebeg dengan lagu-lagu dangdut yang seronok di alun-alun Yogya sebermula adalah untuk memperingati hari lahir Nabi. Metamorfosis itu pada akhirnya adalah soal pemasaran. Biro-biro turis telah melembagakannya.
Kemudian datanglah orang-orang yang ingin menegaskan batas. Otvio Velho, dulu Direktur Lembaga Kajian Agama di Rio de Janeiro, berbicara tentang "ideologi sinkretisme dan percampuran" yang kini hendak disingkirkan dari negeri yang merayakan percampuran itu. Kian lama terdengar kian kuat suara para penganjur "kemurnian". Bagi mereka, Tuhan harus dimenangkan kembali atas manusia yang kacau.
Mereka memang tak membangun patung yang menjulang. Tapi juga di tangan mereka Tuhan ditaklukkan seperti tak disengaja: dengan kekuasaan, mereka buat Sabda jadi Garis, dan Garis jadi Hukum, dan Hukum jadi Arca Kata-Katamonumen tinggi yang tak terdera waktu.
Kapan gerangan Tuhan tak dikalahkan manusia?
Saya berjalan menyusuri pantai Teluk Guanabara selepas matahari terbit. Orang-orang tua, dengan perut bergelambir dan kulit kisut, berlari-lari, bersenam, berjemur di pasir putih. Mereka mengalami apa arti fana. Tubuh kian uzur dan panas kian terik. "Hidup hanya menunda kekalahan," tulis Chairil Anwar. Setidaknya di pantai itu, manusia tahu: ia tak bisa menaklukkan kesementaraan, tak bisa mengusir waktu.
Goenawan Mohamad