Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Asrul

Oleh

image-gnews
Iklan

Ketika Asrul Sani meninggal, sebuah generasi yang lain telah mendapat rumah mereka sendiri.

Ia pasti akan bersyukur. Sebab inilah yang diangan- angankannya dalam Perumahan untuk Fadjria Novari: "Aku akan dirikan sebuah perumahan baru…. Rumah yang akan kuberikan ialah sejarah kehidupan."

Prosa itu (terbit di tahun 1951) berasal dari perjalanan pulang ke kampung kelahiran, ketika ayah sang penulis meninggal. Seakan-akan "aku" melihat lingkungan itu buat pertama kalinya. Sebuah momen yang menyenangkan, tapi sejurus dan tanpa nostalgia. Ia telah meninggalkan tempat kelahiran itu bertahun-tahun yang lampau, dan ia akan meninggalkannya lagi. Sebab di rumah si bapak yang kuno, apak dan mandek, "segalanya…ada pada tempatnya," tulisnya. Tak boleh diubah. Ruang itu tertutup. "Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala yang hendak masuk dan yang hendak keluar."

Maka ia pun memutuskan: "Buat aku rumah ini tiada ada lagi. Telah punah hubunganku dengannya."

Itu bukan konklusi satu-satunya. Ia juga telah menyusun tekad bahwa kelak ia tak akan membuat rumah yang seperti itu bagi Fadjria Novari, anaknya. Yang akan dibangunnya adalah sesuatu yang bergerak dalam proses: sebuah "sejarah kehidupan".

Generasi Asrul Sani memang generasi yang menolak pulang dan membantah rumah. Dalam sajaknya yang terkenal, Si Anak Hilang, Sitor Situmorang melukiskan suasana yang sama meskipun dengan lebih murung. Dalam serangkai kuatren (seakan-akan sang penyair sedang menyusuri kembali bentuk lama) digambarkannya kegembiraan si ibu ketika anaknya kembali ke kampung di tepi danau itu dari perjalanan ke Eropa. Si ayah juga rindu, meskipun mencoba menahan hati.

Tapi benarkah anak muda itu sambungan hidup mereka? Di malam hari, diam-diam si anak pergi ke pantai. Ia tahu, gelombang dan pasir danau itu tahu: sesungguhnya "si anak tiada pulang".

Merantau adalah menampik. Mengembara adalah memberontak. Rivai Apin, penyair sebaya Asrul (mereka berdua, bersama Chairil Anwar, menulis kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir), lebih keras mencetuskannya. Aku harus ke laut, katanya, sebab apa yang ditemukannya di darat, "di sini"? "Batu semua!" teriaknya. Chairil Anwar memilih untuk terbang. "Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari," serunya, untuk "mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat".

Apa gerangan yang mengusik generasi itu untuk "lepas"? Asrul menjawab dari ruang orang tuanya. "Dalam rumah itu," tulisnya, "diam sebuah pendapat yang tiada mau tahu dengan pendapatku. Di segala sudut ada hukum-hukum hidup yang dibungkus dan diberi cadar."

Sikap itu sebenarnya tak mengejutkan. Sebuah esai yang ditulisnya di tahun 1948 berjudul Orang Tak Berasal. Di sana ia menyatakan, "pusaka adalah penjajahan."

Lalu apa yang membentuk dirinya?

Di sebuah masa ketika Indonesia, dalam kata-kata Chairil, adalah bangsa yang "baru bisa bilang 'aku'", generasi Asrul memang memilih "aku" yang tak dibentuk oleh asal dan pusaka. Mereka suara modernitas par excellence. Mereka memang mirip dengan generasi pembaharu se-belumnya, generasi S. Takdir Alisyahbana. Tapi dengan beda yang mendasar.

Modernitas, bagi Takdir, ibarat penjelajahan dengan sebuah biduk yang digalang dengan disiplin dan rasionalitas yang mampu menghitung—sebuah bahtera yang cocok untuk samudra yang menyimpan badai. Sementara itu bagi generasi Asrul, yang hidup dengan khaos dan ketak-pastian dalam perang untuk kemerdekaan tahun 1940-an, modernitas artinya pembebasan, dan itu adalah, jika kita pakai kiasan Rivai, satu pengembaraan yang menyambut "taufan gila", dengan bekal yang hampir nol: "cukup asal ada bintang di langit".

Dengan kata lain, modernitas Takdir tak jauh dari yang digerakkan kelas borjuis Eropa seperti dilukiskan Marx dan Engels: sebuah kekuatan dahsyat yang bernama kemajuan. Takdir tak hendak bermain-main dengan agenda besar itu. Sebuah bangunan, sebuah bangsa, harus kuat dan disiapkan. Maka diremehkannya puisi Chairil sebagai "rujak"—segar, tapi tanpa gizi.

Sementara itu, bagi generasi yang "menguak" Takdir, modernitas adalah pertautan dengan yang oleh Baudelaire disebut sebagai "yang melintas, yang sementara, yang tergantung". Bahkan apa yang lazimnya dianggap sebagai situs yang tetap, "rumah", mereka terima dengan sikap mendua. Bagi Asrul Sani, "rumah" bukanlah konstruksi jadi, tapi "sejarah kehidupan". Bagi Rivai Apin, "rumah" adalah yang membuat dirinya setengah asing. "Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah," tulisnya.

Mungkin sebab itu pada generasi Asrul tampak "modernisme" yang mirip dengan yang meledak di Eropa awal abad ke-20: sebuah gairah eksperimentasi, élan yang menjebol, yang sadar bahwa tak ada batas yang pasti—sebuah élan yang berlanjut dalam karya Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachri dan menyusup sampai ke novel Ayu Utami dan Nukila Amal. Generasi Asrul seakan-akan telah membentuk satu paradigma.

Memang pernah mereka dihujat. Di pertengahan tahun 1950-an (menjelang Bung Karno menggemakan pekik "ganyang" ke arah "Barat"), Ajip Rosidi bersuara: generasi Asrul-Chairil-Rivai, kata Ajip dengan sengit, secara "rohaniah" bertanah-air di Eropa. Meskipun mereka, kata Ajip pula, "masih makan nasi dan ikan asin". Dengan kata lain: bagi Ajip, mereka makhluk blasteran.

Tapi kelirukah blasteran, khususnya blasteran dengan "Barat"? Seruan "awas, Barat!" pernah terdengar sebelumnya—dan membuat Penyair Sanusi Pane mendukung Fascisme Jepang yang memuliakan "Timur". Di sini Ajip hanya memamah-biak asumsi "Orientalis": seakan-akan ada "bukan-Barat" yang tunggal dan tak bercampur.

Asrul tak akan mau memamah-biak macam itu. Ia malah lebih dulu ketimbang Edward Said ketika mengatakan: "Aku tidak lagi mau bicara tentang Barat dan Timur, karena arca-arca yang kukenal semuanya hanya dapat dipandang dengan berpatokan pada waktu." Dengan kata lain, identitas kita, arca kita, tak bisa kita sembah sebagai hal yang kekal.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Nahkoda Sempat Minta Bantuan sebelum Kapal Menabrak Jembatan Francis Scott Key

30 detik lalu

Kapal kargo Dali yang menabrak Jembatan Francis Scott Key hingga runtuh, di Baltimore, Maryland, AS, 27 Maret 2024. REUTERS/Mike Segar
Nahkoda Sempat Minta Bantuan sebelum Kapal Menabrak Jembatan Francis Scott Key

Nahkoda yang menabrak Jembatan Francis Scott Key di Baltimore sempat meminta pengiriman kapal tunda sebelum tabrakan.


Bareskrim Bongkar Kecurangan 4 SPBU, Campur Pertalite dengan Pewarna Lalu Dijual sebagai Pertamax

56 detik lalu

Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Nunung Syaifuddin (kanan), memberikan keterangan tentang pemalsuan bahan bakar minyak (BBM) Pertalite menjadi Pertamax di empat SPBU, di Gedung Bareskrim, Jalan Trunojoyo No. 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Bareskrim Bongkar Kecurangan 4 SPBU, Campur Pertalite dengan Pewarna Lalu Dijual sebagai Pertamax

67 tersangka dalam kasus kecurangan SPBU mencampur pertalite dengan pewarna lalu dijual sebagai pertamax. Dari operator hingga manajer.


Jasa Marga Tambah Stasiun Pengisian Mobil Listrik di Rest Area

6 menit lalu

 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) milik PLN di Gambir, Jakarta Pusat, Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Erwan Hartawan
Jasa Marga Tambah Stasiun Pengisian Mobil Listrik di Rest Area

Jasa Marga menambah stasiun pengisian baterai mobil listrik di rest area jalan tol selama mudik Lebaran.


LinkAja Dapat Pendanaan Investasi Strategis dari Mitsui

6 menit lalu

Layanan Syariah LinkAja pada  pameran Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-8 Tahun 2021 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Oktober 2021. Tempo/Tony Hartawan
LinkAja Dapat Pendanaan Investasi Strategis dari Mitsui

Aksi korporasi BUMN dan LinkAja untuk memperkuat ekosistem dan strategi bisnis, termasuk potensi kolaborasi di dalam ekosistem BUMN.


Anies dan Ganjar Minta Pemilu Ulang, Otto Hasibuan: Berpotensi Krisis Ketatanegaraan

8 menit lalu

Sebanyak 45 orang anggota Tim Hukum Prabowo-Gibran mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan sebagai pihak terkait dalam sengketa hasil Pilpres pada Senin malam, 25 Maret 2024. Sejumlah tokoh tampak hadir, di antaranya Yusril Ihza Mahendra, Otto Hasibuan, O.C. Kaligis, hingga Hotman Paris. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Anies dan Ganjar Minta Pemilu Ulang, Otto Hasibuan: Berpotensi Krisis Ketatanegaraan

Tim Pembela Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan, merespons soal permintaan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam sengketa Pilpres.


Jokowi Utamakan Negosiasi Saham Freeport sebelum Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat

13 menit lalu

Tambang Freeport. Istimewa
Jokowi Utamakan Negosiasi Saham Freeport sebelum Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat

Presiden Jokowi mengutamakan negosiasi saham Freeport sebelum memberi perpanjangan izin ekspor kosentrat.


Jokowi: Freeport Bukan Milik Amerika Lagi

19 menit lalu

Presiden Jokowi ditemui di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Daniel A. Fajri
Jokowi: Freeport Bukan Milik Amerika Lagi

Presiden Jokowi kembali mengingatkan bahwa Indonesia merupakan mayoritas pemegang saham PT Freeport.


Pemerintah Naikkan Dana Peremajaan Sawit Rakyat Menjadi Rp 60 Juta

21 menit lalu

Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qalbi dan jajaran Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan usai menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Akselerasi Peremajaan Sawit Rakyat, di Jakarta, pada Selasa, 5 Maret 2024. Tempo/Novali Panji
Pemerintah Naikkan Dana Peremajaan Sawit Rakyat Menjadi Rp 60 Juta

Pemerintah naikkan dana peremajaan sawit rakyat menjadi Rp 60 juta. Berlaku mulai Mei tahun ini.


Ferienjob Program Resmi di Jerman, Bareskrim Ungkap Kejanggalannya Saat Ditawarkan ke Universitas di Indonesia

25 menit lalu

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Djuhandhani Rahardjo Puro, berbicara terkait perkembangan penyidikan kasus Panji Gumilang di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 6 Juli 2023. Tempo/Eka Yudha Saputra
Ferienjob Program Resmi di Jerman, Bareskrim Ungkap Kejanggalannya Saat Ditawarkan ke Universitas di Indonesia

Bareskrim mengungkap sejumlah kejanggalan dalam penawaran program ferienjob ke sejumlah universitas di Indonesia. Diduga TPPO.


Jadi Daya Tarik Wisman, Batam Wonderfood & Art Ramadhan akan Ditutup Menparekraf Sandiaga Uno

26 menit lalu

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno saat menangapi terkait overtourism Bali dalam kunjungan kerjanya di Batam, Selasa, 2 Januari 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Jadi Daya Tarik Wisman, Batam Wonderfood & Art Ramadhan akan Ditutup Menparekraf Sandiaga Uno

Batam Wonderfood & Art Ramadhan dikunjungi banyak wisatawan mancanegara seperti Korea Selatan, Malaysia, Turki, Thailand