Ketika Asrul Sani meninggal, sebuah generasi yang lain telah mendapat rumah mereka sendiri.
Ia pasti akan bersyukur. Sebab inilah yang diangan- angankannya dalam Perumahan untuk Fadjria Novari: "Aku akan dirikan sebuah perumahan baru . Rumah yang akan kuberikan ialah sejarah kehidupan."
Prosa itu (terbit di tahun 1951) berasal dari perjalanan pulang ke kampung kelahiran, ketika ayah sang penulis meninggal. Seakan-akan "aku" melihat lingkungan itu buat pertama kalinya. Sebuah momen yang menyenangkan, tapi sejurus dan tanpa nostalgia. Ia telah meninggalkan tempat kelahiran itu bertahun-tahun yang lampau, dan ia akan meninggalkannya lagi. Sebab di rumah si bapak yang kuno, apak dan mandek, "segalanya ada pada tempatnya," tulisnya. Tak boleh diubah. Ruang itu tertutup. "Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala yang hendak masuk dan yang hendak keluar."
Maka ia pun memutuskan: "Buat aku rumah ini tiada ada lagi. Telah punah hubunganku dengannya."
Itu bukan konklusi satu-satunya. Ia juga telah menyusun tekad bahwa kelak ia tak akan membuat rumah yang seperti itu bagi Fadjria Novari, anaknya. Yang akan dibangunnya adalah sesuatu yang bergerak dalam proses: sebuah "sejarah kehidupan".
Generasi Asrul Sani memang generasi yang menolak pulang dan membantah rumah. Dalam sajaknya yang terkenal, Si Anak Hilang, Sitor Situmorang melukiskan suasana yang sama meskipun dengan lebih murung. Dalam serangkai kuatren (seakan-akan sang penyair sedang menyusuri kembali bentuk lama) digambarkannya kegembiraan si ibu ketika anaknya kembali ke kampung di tepi danau itu dari perjalanan ke Eropa. Si ayah juga rindu, meskipun mencoba menahan hati.
Tapi benarkah anak muda itu sambungan hidup mereka? Di malam hari, diam-diam si anak pergi ke pantai. Ia tahu, gelombang dan pasir danau itu tahu: sesungguhnya "si anak tiada pulang".
Merantau adalah menampik. Mengembara adalah memberontak. Rivai Apin, penyair sebaya Asrul (mereka berdua, bersama Chairil Anwar, menulis kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir), lebih keras mencetuskannya. Aku harus ke laut, katanya, sebab apa yang ditemukannya di darat, "di sini"? "Batu semua!" teriaknya. Chairil Anwar memilih untuk terbang. "Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari," serunya, untuk "mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat".
Apa gerangan yang mengusik generasi itu untuk "lepas"? Asrul menjawab dari ruang orang tuanya. "Dalam rumah itu," tulisnya, "diam sebuah pendapat yang tiada mau tahu dengan pendapatku. Di segala sudut ada hukum-hukum hidup yang dibungkus dan diberi cadar."
Sikap itu sebenarnya tak mengejutkan. Sebuah esai yang ditulisnya di tahun 1948 berjudul Orang Tak Berasal. Di sana ia menyatakan, "pusaka adalah penjajahan."
Lalu apa yang membentuk dirinya?
Di sebuah masa ketika Indonesia, dalam kata-kata Chairil, adalah bangsa yang "baru bisa bilang 'aku'", generasi Asrul memang memilih "aku" yang tak dibentuk oleh asal dan pusaka. Mereka suara modernitas par excellence. Mereka memang mirip dengan generasi pembaharu se-belumnya, generasi S. Takdir Alisyahbana. Tapi dengan beda yang mendasar.
Modernitas, bagi Takdir, ibarat penjelajahan dengan sebuah biduk yang digalang dengan disiplin dan rasionalitas yang mampu menghitungsebuah bahtera yang cocok untuk samudra yang menyimpan badai. Sementara itu bagi generasi Asrul, yang hidup dengan khaos dan ketak-pastian dalam perang untuk kemerdekaan tahun 1940-an, modernitas artinya pembebasan, dan itu adalah, jika kita pakai kiasan Rivai, satu pengembaraan yang menyambut "taufan gila", dengan bekal yang hampir nol: "cukup asal ada bintang di langit".
Dengan kata lain, modernitas Takdir tak jauh dari yang digerakkan kelas borjuis Eropa seperti dilukiskan Marx dan Engels: sebuah kekuatan dahsyat yang bernama kemajuan. Takdir tak hendak bermain-main dengan agenda besar itu. Sebuah bangunan, sebuah bangsa, harus kuat dan disiapkan. Maka diremehkannya puisi Chairil sebagai "rujak"segar, tapi tanpa gizi.
Sementara itu, bagi generasi yang "menguak" Takdir, modernitas adalah pertautan dengan yang oleh Baudelaire disebut sebagai "yang melintas, yang sementara, yang tergantung". Bahkan apa yang lazimnya dianggap sebagai situs yang tetap, "rumah", mereka terima dengan sikap mendua. Bagi Asrul Sani, "rumah" bukanlah konstruksi jadi, tapi "sejarah kehidupan". Bagi Rivai Apin, "rumah" adalah yang membuat dirinya setengah asing. "Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah," tulisnya.
Mungkin sebab itu pada generasi Asrul tampak "modernisme" yang mirip dengan yang meledak di Eropa awal abad ke-20: sebuah gairah eksperimentasi, élan yang menjebol, yang sadar bahwa tak ada batas yang pastisebuah élan yang berlanjut dalam karya Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachri dan menyusup sampai ke novel Ayu Utami dan Nukila Amal. Generasi Asrul seakan-akan telah membentuk satu paradigma.
Memang pernah mereka dihujat. Di pertengahan tahun 1950-an (menjelang Bung Karno menggemakan pekik "ganyang" ke arah "Barat"), Ajip Rosidi bersuara: generasi Asrul-Chairil-Rivai, kata Ajip dengan sengit, secara "rohaniah" bertanah-air di Eropa. Meskipun mereka, kata Ajip pula, "masih makan nasi dan ikan asin". Dengan kata lain: bagi Ajip, mereka makhluk blasteran.
Tapi kelirukah blasteran, khususnya blasteran dengan "Barat"? Seruan "awas, Barat!" pernah terdengar sebelumnyadan membuat Penyair Sanusi Pane mendukung Fascisme Jepang yang memuliakan "Timur". Di sini Ajip hanya memamah-biak asumsi "Orientalis": seakan-akan ada "bukan-Barat" yang tunggal dan tak bercampur.
Asrul tak akan mau memamah-biak macam itu. Ia malah lebih dulu ketimbang Edward Said ketika mengatakan: "Aku tidak lagi mau bicara tentang Barat dan Timur, karena arca-arca yang kukenal semuanya hanya dapat dipandang dengan berpatokan pada waktu." Dengan kata lain, identitas kita, arca kita, tak bisa kita sembah sebagai hal yang kekal.
Goenawan Mohamad