Kisah pesawat MH370 merupakan pelajaran pahit bagi dunia penerbangan. Proses pencarian pesawat Malaysia Airlines ini memakan waktu lama dan membuat marah keluarga penumpang. Kekacauan tak akan terjadi andaikata pesawat itu dilengkapi dengan sistem komunikasi yang canggih.
Nasib pesawat yang menghilang dari radar sejak 8 Maret itu baru bisa dipastikan beberapa hari yang lalu. Pesawat Boeing 777-200ER ini diperkirakan jatuh di Samudra Indonesia bagian selatan--sekitar 2.000 mil dari daratan Australia. Besar kemungkinan, tak ada penumpang yang selamat. Serpihan-serpihan yang diduga bagian dari pesawat itu ditemukan lewat pengindraan satelit.
Spekulasi muncul karena pesawat ini lenyap begitu saja dari pantauan radar saat melintas di atas Laut Cina Selatan. Pesawat yang mengangkut 239 penumpang dengan tujuan Beijing ini kemudian terdeteksi berbalik arah ke Selat Malaka, lalu berputar lagi menuju Samudra Indonesia bagian selatan. Boleh jadi, pesawat ini dibajak. Tapi kemungkinan adanya kerusakan belakangan semakin menguat. Kejadian sebenarnya baru akan terungkap setelah black box ditemukan, yang bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan.
Pesawat itu sebetulnya juga dilengkapi dengan aircraft communications addressing and reporting system (ACARS). Kalaupun peranti ini rusak atau sengaja dimatikan oleh pilot, Boeing telah membuat sistem pelacak jejak cadangan. Masalahnya, Malaysia Airlines sengaja tidak mau memperbarui sistem komunikasinya walaupun biayanya cuma sekitar Rp 114 ribu per penerbangan.
Aplikasi yang disebut Swift itu terbukti bisa membantu menemukan pesawat Air France yang jatuh ke palung laut Samudra Atlantik pada 2009, hanya dalam lima hari. Swift akan tetap menyala meskipun pilot mematikan sistem komunikasi. Tanpa aplikasi ini, proses pencarian pesawat MH370 berlangsung lebih lama dan harus meminta bantuan banyak negara.
Di tengah era digital sekarang, sebetulnya memungkinkan pula pesawat mengirim data penerbangan secara real time ke bandar udara atau kantor maskapainya. Hanya, biaya untuk teknologi ini masih lumayan mahal, sehingga jarang digunakan oleh maskapai penerbangan.
Dunia penerbangan seharusnya tidak mengorbankan sistem komunikasi dan keselamatan hanya untuk menekan biaya. Inilah yang mesti diperhatikan, termasuk oleh maskapai penerbangan di negara kita. Beberapa tahun silam, misalnya, ada maskapai nakal yang tak mau memasang sistem komunikasi pesawat yang standar, sekalipun harganya tak terlalu mahal.
Pemerintah kita juga perlu mengevaluasi longgarnya pemberian izin mendirikan maskapai. Tidaklah tepat memberikan izin bagi perusahaan penerbangan tanpa persyaratan modal yang memadai. Kebijakan ini akan membuat maskapai mengabaikan sistem keselamatan penerbangan karena tak sanggup membeli peralatan komunikasi yang canggih. Jangan sampai insiden seperti pesawat MH370 terjadi pada maskapai penerbangan di negeri ini.