Sulit dibantah, sebagian dari sumber karut-marut pengoperasian angkutan kota alias angkot adalah perilaku sopir. Tapi semata-mata menyalahkan mereka bisa menyebabkan upaya untuk membereskan masalahnya meleset. Karena itu, melegakan jika pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kini sedang mengkaji langkah yang berpeluang menjadi solusi mujarab: memberlakukan gaji tetap.
Upaya itu sebenarnya merupakan bagian dari rencana penataan angkot yang belakangan ini sedang digodok. Rencana ini dibayangkan sebagai perombakan atas manajemen pengoperasian angkot. Sudah menjadi pengetahuan umum, angkot merupakan jenis angkutan umum yang kepemilikannya bersifat perorangan. Tanpa ketentuan yang mengatur berbagai segi pengoperasiannya sebagai produk jasa, para pemilik bisa seenaknya mengelola usaha.
Hingga kini, angkot masih menggunakan sistem setoran. Sopir bukanlah karyawan perusahaan operator atau pemilik angkot; mereka semata penyewa: mereka "narik" angkot dengan beban sejumlah tertentu uang sewa, yang biasa disebut setoran. Para pemilik angkot bisa memberlakukan aturan-aturan operasional yang saling berbeda, kalaupun ada.
Dalam prakteknya, kalau beruntung, orang memang bisa menjumpai sopir yang santun melayani penumpang dan menaati rambu-rambu lalu lintas. Tapi "norma" yang umum berlaku adalah mengemudi secara ugal-ugalan--mengetem dan mengambil penumpang sembarangan, serobot sana serobot sini seakan tak kenal rem--dan menganggap penumpang tak lebih dari muatan.
Tanpa aturan dan tanpa pengawasan pemilik angkot pula, muncul praktek sopir pendukung yang lazim disebut "sopir tembak". Sopir-sopir yang kerap tertangkap razia tak punya surat izin mengemudi ini makin merunyamkan keadaan. Mereka bisa menjadi operator bagi sopir "resmi", yang tercatat sebagai penyewa angkot, untuk memenuhi usahanya mengejar setoran. Sopir tembak inilah yang melipatgandakan ketidaknyamanan dan ketidakamanan angkot.
Model pengoperasian angkot yang "brutal" itu sudah seharusnya diakhiri. Pemberlakuan gaji bagi sopir angkot (semestinya juga sopir jenis angkutan umum lainnya) bisa menjadi tumpuan untuk memperbaiki keseluruhan sistem. Gaji, yang sekurang-kurangnya sama dengan penghasilan sewaktu masih harus menyetor, merupakan jaminan bagi sopir untuk sepenuhnya melayani penumpang sebaik-baiknya.
Tentu saja, gaji baru satu hal. Belum jelas apakah kelak hanya ada satu operator angkot, hasil peleburan usaha-usaha perorangan itu--seperti dilakukan di Singapura pada 1973. Belum bisa diketahui pula apakah akan berlaku integrasi antar-jenis angkutan, sehingga bepergian dan berpindah-pindah jenis angkutan lebih mudah. Tapi, yang tak boleh diabaikan, dalam sistem baru itu mesti berlaku peraturan mengenai standar pelayanan minimum.
Dengan peraturan itu, operator angkutan umum memiliki panduan atas standar layanan yang wajib disediakan. Masyarakat pun mengetahui layanan minimal yang semestinya dinikmati.