Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Negro

Oleh

image-gnews
Iklan

Seorang anak perempuan jalanan menawarkan tubuhnya dengan gerak tangan yang nakal di dekat dermaga Teluk Todos os Santos, ketika hari masih sore di kota Salvador. Umurnya sekitar 13. Tubuhnya kurus. Kulitnya yang coklat tampak kotor, juga rambutnya yang keriting dan pakaiannya yang minimal. Ia mungkin setengah teler. Tak laku, ia berteriak dan berlari-lari ke arah Pasar Mercado Modelo.

Di beranda bangunan pasar besar itu, dua anak muda bermain capoeira di atas sebuah pentas kecil. Yang satu, dengan tubuh hitam yang atletis, menggerakkan tendangan kaki yang diatur pelan seperti menari. Yang lain, berkulit putih, tampak masih baru belajar silat negro itu, dengan gerak yang kikuk, tapi ingin.

Negro, Afro, gerak tubuh dan sensualitas, daya pikat eksotis dan misteri, juga kemiskinan dan ketimpangan sosial - Salvador menampakkan semua itu secara serentak. Di abad-abad yang lalu para pendatang menyebut kota di timur laut Brazil ini "Roma Hitam", dan kita dengan cepat tahu kenapa: sampai hari ini, tiap sudut menandai warisan Katolik Portugis dan sinkretisme Afrika. Keduanya tak selamanya cocok, tapi anehnya, Salvador tidak terkoyak.

Meskipun di sini juga dimulai salah satu "dosa asal" itu, yakni perbudakan - untuk memakai kata-kata Sejarawan Jose Murilo de Carvalho ketika ia menggambarkan satu bagian sentral masa lalu Brazil.

Perbudakan, "dosa asal" itu, adalah sebuah cerita ekonomi. Segera setelah orang Portugis menguasai wilayah ini di awal abad ke-16, ketika gula mulai diolah dari perkebunan tebu yang luas, tenaga yang murah pun dibutuhkan. Di tahun 1550 buat pertama kali datang orang-orang Afrika. Mereka diangkut dengan paksa melalui kapal dari benua seberang. Mereka dijual sebagai budak.

Sejak itu, selama 300 tahun, perbudakan hadir di hampir tiap kehidupan negeri itu, bahkan juga setelah ia merdeka dari Portugal di tahun 1822. Sepertiga dari jumlah budak yang didatangkan ke benua Amerika dijual ke Brazil. Dari pemilik tanah sampai dengan para janda di kota-kota, semua memiliki orang hitam dari Afrika yang bisa dibeli di pasar itu. Juga Gereja Katolik dan para padri.

Negara bagian Bahia adalah pelaku terbesar "dosa asal" itu, dan mungkin sebab itulah Salvador, ibukotanya, menjadi "Roma Hitam". Seperti Roma, ia juga berdiri di atas kekerasan. Di kawasan tua Pelourinho, ada sebuah tempat lapang berlantai batu. Di zaman dahulu, di situlah tempat orang menghukum cambuk dan gantung para budak di depan umum.

"Dosa asal" itu memang bisa melukai, dan saya tak tahu mungkinkah ia ditebus atau mustahilkah ia dilupakan. Saya hanya melihat Salvador yang seperti tidak pernah terkoyak. Barangkali ia bagian dari nasib baik Brazil, sebuah negeri yang hampir tak pernah terancam perpecahan, tak pernah mengalami revolusi sosial yang meletup, meskipun beda si miskin dan si kaya begitu tajam, dan "miskin" praktis sama artinya dengan "negro".

Tentu tak bisa diramalkan, adakah nasib baik itu akan ada selama-lamanya. Barangkali soalnya bukan nasib baik, melainkan kemampuan sebuah negeri, sebuah bangsa, untuk memilih apa yang harus dilupakannya dan apa yang perlu diingatnya, ketika ia hendak bertaut jadi satu..

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi apa? Menjelang akhir abad ke-19, Brazil ingin membentuk "ras Brazilia" seraya memasuki modernitas. Tapi pada akhirnya modernitas itu hanya berarti melupakan jejak Afrika dari imajinasi, Afrika yang "tidak modern", Afrika yang "lamban", dan sebab itu tersingkir dari pasar dan jalanan. Proyek modernitas itu pun menjadi "putih", tapi "modernitas putih" itu tentu saja gagal. Bukan saja karena sang negro terlampau kuat hadir dalam hidup sehari-hari, tapi karena modernitas selalu melahirkan penangkalnya sendiri.

Di di danau Dique de Tororo, di tengah kota Salvador, tampak empat patung perempuan berbaju keemasan di atas air. Mereka adalah para orix, dewi-dewi yang dipercaya agama yang berakar dalam keyakinan Yoruba di Afrika dan tumbuh di Salvador: candomble, yang dulu dilarang oleh Gereja Katolik untuk dipraktekkan, tapi kini bangkit seperti dari sebuah mimpi yang tertekan.

Kini wisma candomble tampak di mana-mana, dan seperti dalam permainan capoeira, yang ikut bukan hanya orang negro. Livio Sansone, gurubesar dari Pusat Studi Afro-Asia, menguraikan perubahan itu sebagai "ekspresi kerinduan orang banyak kepada yang sensual dan eksotis - dikaitkan dengan kaum kulit hitam - di sebuah masyarakat di pinggiran Barat yang ingin semakin rasional".

Tapi pada saat itu, ada tendensi untuk melupakan sama sekali yang "modern", terutama bila "modern" disama-artikan dengan "putih". Kini orang berbicara tentang "re-Afrikanisasi" kebudayaan negro Brazil.

Di salah satu dudut plaza Terreiro de Jesus, ada bekas bangunan sekolah kedokteran dari abad ke-19; di dalamnya sebuah museum kecil. Di sini hasat untuk "mengingat" Afrika terasa kuat. Sebagian besar isinya adalah artefak dari kebudayaan Yoruba, seakan-akan dengan itulah bisa dikenang dengan bangga "negeri leluhur".

Dalam hasrat mengingat dan melupakan itu, upacara-upacara candomble mulai dibersihkan apa yang bercorak Katolik. Menurut Sansone, kelompok candomble yang satu mencemooh kelompok candomble lain sebagai "kurang Afrika".

"Apakah Afrika bagiku?", tanya Countee Cullen, penyair hitam dari Amerika, dalam salah satu sajaknya. "Matahari tembaga atau laut merah tua" Sajak itu tak memberi jawab. Begitu banyak ragam "Afrika", begitu banyak liku dan lorong dalam masa lalu. Kadang-kadang sebuah bangsa tak mau mengakui, ingatan kita tergantung dari kemarahan kita di suatu waktu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

35 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

40 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

41 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.