"Democracy? Bah"
- Allen Ginsberg
Ketika poster jadi hiasan dinding dan televisi hadir di gubuk-gubuk, demokrasi berubah. Orang ramai yang dijangkau serentak oleh poster di abad ke-19 kini nyaris punah. Yang ada adalah mereka yang dirasuki sebuah medium yang sejak di 1930-an mulai memukau dunia, sebab di layar itu yang tampil adalah sebuah gambar hidup.
Gambar, apalagi yang hidup, memang mempesona praktis siapa saja. Demokrasiyang bertopang pada suara siapa sajakian menyadari itu. Di awal Mei 2003, lewat CNN dunia melihat Presiden Bush mendarat di kapal induk USS "Abraham Lincoln" dari sebuah pesawat jet tempur. Mengenakan jaket dan pantalon penerbang bagaikan seorang tokoh dalam Top Gun, ia melambai. Dan cerita pun tersirat: sang Presiden turun dari langit biru, terbang dari Gedung Putih, untuk menemui pasukan Amerika di tengah samudra. Dan di sana ia berpidato tentang kemenangan dalam Perang Irak.
Televisi pun ramai. Bush hari itu adalah sebuah berita.
Namun, yang terjadi sebenarnya sebuah pementasan. Tuan Presiden tak terbang dari Washington, DC. Kapal induk itu tak berada di tengah samudra. "Abraham Lincoln" sedang berlabuh di Bandar San Diego. Bush sebenarnya diterbangkan dari tempat yang tak jauh dari situ. Menurut Associated Press, bahkan kapal induk "Abraham Lincoln" harus diubah posisinya agar mendapatkan angle yang bagus buat kamera TV: latar belakangnya laut luas, garis pantainya tak kelihatan.
Maka sebuah berita punbiasanya dianggap berisi faktatampil dalam sebuah desain. Ia telah jadi poster. Tapi lebih efektif 1.000 kali.
Sejak abad ke-19, gambar pada poster memang telah diakui lebih andal ketimbang huruf. Kita ingat Henri de Toulouse-Lautrec, si cacat yang mengiklankan pertunjukan kabaret di distrik Montmartre, Paris. Di ujung abad ke-19 ia membuat poster tentang sri panggung Jane Avril: sepenuhnya gambar, dengan hanya dua patah kata.
Tapi ada sesuatu yang terbatas pada poster: medium ini hanya bisa efektif bila ia, sejak pandangan pertama, "menarik". Ia bertumpu pada "impuls" estetik.
Ia harus "menarik", sebab ada jarak antara dirinya dan orang ramai. Sebuah gambar pada poster bagaimanapun bukan sebuah rekonstruksi, melainkan sebuah saripati. Toulouse-Lautrec tak menampilkan seluruh adegan burlesque yang hendak dipanggungkan di Moulin Rouge. Poster "Che" Guevara hanya menghadirkan raut wajahnya, baretnya, dan jenggotnya saja, sebagai simbol, bukan sosok utuh tokoh revolusi Kuba itu. Poster film Ada Apa dengan Cinta cuma terdiri dari sebuah potret yang mensugestikan paras Dian Sastrowardoyo.
Sebab itu mereka yang "membaca" sebuah posterjuga mereka yang buta hurufsedikit-banyak dituntut untuk punya persediaan, atau ikhtiar, agar segera mampu menangkap sebuah abstraksi.
Sebab itulah poster harus jadi gambar yang tak mudah diabaikan orang yang lalu-lalang di jalanan. Bahkan poster politik gerakan kiri yang bermaksud bicara kepada kelas bawah, dari karya John Heartfield di Berlin di tahun 1930-an sampai dengan gambar Lekra di Indonesia tahun 1960-an, tak bisa membebaskan diri dari keharusan desain. Memikat itu penting. Bagi para seniman grafik Bauhaus Jerman, bahkan desain adalah yang utama: maka mereka masukkan pesan huruf sebagai kesatuan pesan dengan gambar.
Pada akhirnya "impuls" estetik itulah yang unggul. "Orang ramai" pun diasumsikan sebagai mereka yang bisa dipikat dengan poster iklan gaya art deco, seperti karya Cassandre dari tahun 1927 untuk perusahaan kereta api Prancis: yang kita hadapi sebuah kereta api yang geometris, elegan, dan semiabstrak.
Bagi televisi, yang elegan dan semiabstrak tak penting: ia bisa menyampaikan sebuah pesan ke orang ramai dengan percaya penuh, bahwa suara dan gerak sudah memadai untuk menarik perhatian. Apalagi jika semuanya dirancang seperti adegan Bush di kapal induk "Abraham Lincoln": sebuah "berita" yang diciptakan, seperti iklan rokok Djarum.
Tapi tanpa desain pun sebuah reportase televisi bisa membawa pesan yang membujuk dan mengajak. Ia mampu berfungsi seperti sebuah poster: gambar Laskar Jihad yang berbaris berpakaian Arab dan memamerkan samurai, atau aksi antiperang sejumlah perempuan yang membawa lilin di bawah Tugu Selamat Datang. Ada yang estetik, ada yang fotogenik di sana, biarpun sesaat.
Namun, tetap berbeda dengan poster, televisi adalah media massa yang bertolak-belakang dengan abstraksi. Ia hanya kadang-kadang saja membutuhkan kecerdasan kita.
Di paruh kedua abad ke-20, ketika poster kian tersisih sebagai penyampai pesan politik, dan televisi jadi dominan, demokrasi juga berubah. Ia makin berkait dengan "massa". Dan massa adalah sesuatu yang tak berkata "kami berpikir, maka kami ada". Massa ada justru karena tak berpikir.
Ia memang jadi antitesis dari "elite", sebuah pengertian yang kini disebut dengan kesal. Demokratisasi pun kian meluas, bersama meluasnya pasar. Semua hal diperjelas, dipermudah, diperbanyakdalam seni, agama, politik. Tak mengherankan bila dari proses itulah seorang Bush atau Megawati bisa terpilih sebagai pemimpin, cinetron jadi kesenian, dan pengkhotbah jadi selebriti.
Mungkin itu sebabnya Penyair Allen Ginsberg berseru, "Bah!" Tampaknya tiap kali orang merindukan kembali selapis masyarakat yang bisa menjaga kehidupan bersama sebagai komunitas yang cerdas, bebas, dan beradabmereka yang oleh Asrul Sani disebut mempunyai "aristokrasi jiwa".
Soalnya kemudian, mungkinkah aristokrasi ini, yang jauh dari lalat di pasar dan koreng di jalan, bisa melihat dunia bukan hanya sebagai sebuah pigura dengan garis yang elegan, geometris, dan semiabstrak. Bukankah kekonyolan demokrasi setidaknya bisa mengingatkan kita tentang satu hal: ruwetnya manusia?
Goenawan Mohamad