Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Titanic

Oleh

image-gnews
Iklan
Ketika di bulan April 1912 kapal Titanic pelan-pelan tenggelam di laut dingin di tengah malam, para penumpang kelas satu berusaha berebut tempat di sekoci penyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka dengan menodongkan senjata, karena menurut aturan anak-anak dan perempuanlah yang harus diberi tempat lebih dulu…. Kurang-lebih itulah yang tampil dalam film James Cameron yang termasyhur itu—sebuah adegan yang mengesankan betapa orang-orang di kelas atas itu adalah mereka yang tak punya rasa belas dan tak bisa mengalah. Tapi sedikitnya separuh dari Titanic adalah sebuah fiksi. Ada yang mengatakan bahwa kejadian yang sebenarnya dalam bencana Titanic justru sebuah kisah kepahlawanan orang di kelas atas. Dalam daftar malapetaka Titanic ada John Jacob Astor, Benjamin Guggenheim, dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika terkemuka, sementara yang selamat adalah mereka yang tak berdaya. Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom, mengutip statistik dari bencana hari itu: di antara penumpang kelas satu, semua anak kecil selamat, dan hanya lima perempuan yang mati—tiga di antaranya bersedia tenggelam bersama suami mereka. Benjamin Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam sekoci. Ia memberi tempat kepada seorang perempuan yang kemudian memang selamat. Pesannya yang terakhir: "Katakan kepada istri saya…. Tak ada seorang perempuan pun tertinggal di kapal ini hanya gara-gara Ben Guggenheim seorang pengecut." Dengan itu, tema pun berubah. Yang tampak ialah bahwa selapis elite bukanlah dengan sendirinya sekelompok orang yang hanya mujur dan mendapat. Pengertian noblesse oblige tak datang dari angan-angan, bahwa siapa saja yang memiliki privilese dan berkuasa justru wajib untuk siap memberikan diri bagi kepentingan umum dan terutama untuk nasib mereka yang lemah. Fareed Zakaria hendak mengemukakan, sebagai bagian dari argumennya, bahwa dewasa ini sikap itu tengah tenggelam. Demokratisasi merambah ke mana-mana tapi justru tak mendatangkan kebebasan. Demokratisasi perlu. Tapi, dalam pandangan Zakaria, arus ini berbahaya bila tak tersedia satu lapisan masyarakat yang memimpin, yang senantiasa menghargai hak-hak perorangan untuk berpikir merdeka, bersuara merdeka, dan memiliki hukum yang dijalankan secara benar. Contoh buruk adalah Gujarat. Di negara bagian India itu, demokrasi berjalan, para pemimpin dipilih oleh rakyat banyak. Tapi demokrasi ini menghalalkan penindasan dan pembunuhan minoritas muslim oleh mayoritas Hindu—sebuah demokrasi yang dalam pengertian Fareed Zakaria disebut "tak-liberal". India, yang dulu dipimpin satu lapisan atas yang melahirkan Nehru, kini sudah digantikan oleh sebuah demokrasi yang memanjakan purbasangka orang jalanan. Dengan kata lain, di Gujarat, seperti halnya dalam demokrasi di tempat lain, tak ada elite seperti di kapal Titanic dalam versi Zakaria. Tak ada orang-orang yang dalam kata-kata Ki Hajar Dewantara bersikap ing ngarsa sung tuladha: jika berada di depan, kita wajib memberi teladan keadilan dan kelapangan hati. Ki Hajar adalah orang yang percaya pada sistem "demokrasi dengan kepemimpinan". Tapi dari mana datangnya kepemimpinan, dan bagaimana noblesse oblige bisa tumbuh? Zakaria memang tak membuktikan bahwa yang terjadi di Titanic mencerminkan sebuah code of honour atau patrap kehormatan kalangan atas. Meskipun demikian, harus diakui bahwa sejarah lapisan atas tak seluruhnya hitam. Pengertian "elite" tak hanya mengenai status, tapi juga serangkai nilai-nilai yang mencerminkan rasa bangga pada keluhuran diri dan rasa percaya akan posisinya dalam sejarah. Ernesto "Che" Guevara termasuk dalam lapisan itu: ia seorang dokter, anak keluarga kaya di Argentina, tapi mengabdikan hidupnya buat kaum yang papa di Amerika Latin. Ki Hajar Dewantara sendiri, yang datang dari Ndalem Pakualaman, Yogya, adalah contoh lain. Bahkan kakaknya bergerak di kalangan buruh. Tapi tentu saja dengan sikap ing ngarsa sung tuladha saja selapis pemimpin tak dengan sendirinya menumbuhkan dan mempertahankan kebebasan manusia. Kaum revolusioner di Rusia dan di Cina adalah sebuah elite yang siap berkorban bagi kepentingan umum, tapi tak akan membiarkan demokrasi tumbuh—satu hal yang kini juga tampak di Singapura, sebuah republik dengan kepemimpinan yang anehnya dikagumi Zakaria. Maka dibutuhkan sejenis elite lain. Tapi bagaimana mereka bisa dipesan, terutama di zaman ketika ideologi elitisme runtuh? Di zaman ini, cerita tentang noblesse oblige umumnya telah digantikan dengan cerita kapitalisme. Langsung atau tidak, kapitalisme mengajarkan bahwa hidup akan jadi lebih baik jika orang mengakui pamrihnya sendiri, dan bersama itu sadar akan perhitungan untung-rugi. Sebab, dengan demikian orang bisa berunding, tak ada yang merasa lebih suci dan tak ada orang yang tergila-gila untuk jadi "luhur" seraya menimbulkan heboh. Uang, kapital, dan pendidikan yang meluas memang telah menyebabkan kasta-kasta lama guncang atau runtuh. Sementara itu, kini belum lahir kasta baru dengan nilai-nilai yang mantap untuk menghindarkan Gujaratisme yang intoleran atau "premanokrasi" yang korup. Saya tak tahu adakah kita di jalan buntu. Tapi Indonesia bukannya tanpa sejarah selapis elite yang mengabdi. Kartini, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Bung Karno, Syahrir, Mononutu, Leimena, dan lain-lain tercatat telah berbuat yang terbaik untuk publik. Mereka memang dilupakan dalam masa "Orde Baru", ketika kehidupan politik seakan-akan sebuah kapal Titanic dalam versi yang busuk, ketika yang di atas sampai jam terakhir hanya hendak menyelamatkan diri sendiri. Tapi siapa tahu kini ada kesempatan untuk mengingat mereka kembali, untuk benih baru setelah 2004. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Jokowi Keluhkan Banyak WNI Berobat ke Luar Negeri, Ini Kilas Balik Menteri Luhut Berobat di Singapura

8 menit lalu

Presiden Joko Widodo menjenguk Luhut Binsar Pandjaitan di Singapura. FOTO/Instagram
Jokowi Keluhkan Banyak WNI Berobat ke Luar Negeri, Ini Kilas Balik Menteri Luhut Berobat di Singapura

Salah satu menteri Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan, diketahui pernah berobat hampir sebulan di Singapura pada November tahun lalu.


Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

10 menit lalu

Ilustrasi Uang Rupiah. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

BI mengungkapkan uang beredar dalam arti luas pada Maret 2024 tumbuh 7,2 persen yoy hingga mencapai Rp 8.888,4 triliun.


Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

11 menit lalu

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan netralitas Pemilu di gedung KPK pada Rabu, 7 Februari 2024. Tempo/Aisyah Amira Wakang
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Nurul Ghufron menggugat Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.


Psikolog Sebut Perlunya Orang Tua Terapkan Aturan Jelas Penggunaan Ponsel pada Anak

16 menit lalu

Ilustrasi anak main ponsel pintar. (Shutterstock.com)
Psikolog Sebut Perlunya Orang Tua Terapkan Aturan Jelas Penggunaan Ponsel pada Anak

Orang tua harus memiliki aturan yang jelas dan konsisten untuk mendisiplinkan penggunaan ponsel dan aplikasi pada anak.


Elite NasDem Bertemu Prabowo, Surya Paloh: Mungkin Silaturahmi

17 menit lalu

Mantan Cawapres nomor urut 01 Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menggelar konferensi pers bersama Ketum NasDem Surya Paloh usai pertemuan keduanya terkait putusan MK. Pertemuan tersebut dilakukan di NasDem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa, 23 April 2024. TEMPO/Adinda Jasmine
Elite NasDem Bertemu Prabowo, Surya Paloh: Mungkin Silaturahmi

Surya Paloh menanggapi pertemuan Wakil Ketua Umum NasDem Ahmad Ali dengan Prabowo Subianto pada Selasa lalu. Sinyal koalisi?


Timnas AMIN Jelaskan Urgensi Pertemuan Jokowi dan Prabowo untuk Bahas RAPBN 2025

23 menit lalu

Presiden Jokowi bersama rombongan terbatas termasuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bertolak menuju Jawa Timur untuk kunjungan kerja, Lanud TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 8 Maret 2024. Foto Biro Pers Sekretariat Presiden
Timnas AMIN Jelaskan Urgensi Pertemuan Jokowi dan Prabowo untuk Bahas RAPBN 2025

Awalil menilai pertemuan dan koordinasi antara Jokowi dan Prabowo memang diperlukan dan sangat penting dilakukan saat ini.


Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho ke Dewas, KPK: Bukan Keputusan Kolektif Kolegial Pimpinan

23 menit lalu

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ditemui usai memberikan keterangan kepada Dewas KPK perihal pemberhentian Endar Priantoro di Gedung Dewas Rabu 12 April 2023. TEMPO/Mirza Bagaskara
Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho ke Dewas, KPK: Bukan Keputusan Kolektif Kolegial Pimpinan

Tindak lanjut laporan dugaan pelanggaran etik yang diajukan Nurul Ghufron diserahkan sepenuhnya kepada Dewan Pengawas KPK.


2 Cara Blur WhatsApp Web di Chrome untuk Menjaga Privasi Chat

26 menit lalu

Memori penyimpanan WhatsApp harus rutin dibersihkan agar kinerja aplikasi tidak lemot. Ini cara bersihkan penyimpanan WhatsApp. Foto: Canva
2 Cara Blur WhatsApp Web di Chrome untuk Menjaga Privasi Chat

Ada beberapa cara blur WhatsApp Web di Chrome agar chat rahasia Anda tidak dibaca orang lain. Berikut ini beberapa tata caranya.


Prabowo Berpeluang Tambah Anggota Koalisi Pemerintah, Demokrat: Kami Dukung

29 menit lalu

Logo Partai Demokrat
Prabowo Berpeluang Tambah Anggota Koalisi Pemerintah, Demokrat: Kami Dukung

Partai Demokrat akan mengikuti keputusan presiden terpilih Prabowo Subianto jika ingin menambah partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).


Riwayat Jakarta dari Berstatus Ibu Kota Negara DKI Jakarta Kemudian Hanya Daerah Khusus Jakarta

32 menit lalu

Gedung bioskop Menteng di Jakarta, 1984. Dok. TEMPO/Nanang Baso
Riwayat Jakarta dari Berstatus Ibu Kota Negara DKI Jakarta Kemudian Hanya Daerah Khusus Jakarta

Sejak abad ke-16, Kota Jakarta telah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan hingga secara resmi berubah menjadi DKI Jakarta, terakhir DKJ.