Pemerintah mesti segera mengevaluasi pembebasan bersyarat Schapelle Leigh Corby. Pernyataan terbaru teman dekat terpidana kasus penyelundupan mariyuana itu, juga penampilan dia dan keluarganya di sebuah stasiun televisi Australia, bisa menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengembalikan Corby ke penjara. Dia bisa dinilai telah melanggar kesepakatan yang ia tandatangani sendiri dengan Kementerian Hukum.
Corby, seperti dituturkan sahabatnya, Renae Lawrence, mengaku memang membawa mariyuana di dalam tasnya saat memasuki Indonesia. Warga Australia itu bahkan menyebutkan telah lebih dari tiga kali melakukannya sebelum tertangkap pada 2004. Pengakuan ini, jika benar, menunjukkan bahwa ia sebenarnya tak pantas mendapat remisi besar, apalagi memperoleh pembebasan bersyarat.
Pengadilan Negeri Denpasar telah menghukum penyelundup 4,1 kilogram mariyuana ini dengan penjara 20 tahun. Keputusan itu dikuatkan hingga ke Mahkamah Agung. Keluarga Corby kemudian mengajukan grasi dengan alasan terpidana mengidap penyakit mental. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun memberikan pengurangan hukuman menjadi 15 tahun. Corby juga mendapatkan remisi 25 bulan.
Pemberian grasi dan pengurangan hukuman yang luar biasa besar itu sebenarnya pernah dikritik. Presiden dinilai terlalu bermurah hati memberikan grasi untuk terpidana kasus narkotik. Presiden bahkan pernah dituding telah bermain mata dengan pemerintah Australia. Tapi juru bicara Presiden meyakinkan bahwa alasan kemanusiaanlah yang menjadi pertimbangan pemberian grasi pada 2012 itu.
Kini, jika pernyataan sahabat Corby itu sahih, pemerintah akan menanggung malu. Lawrence mengungkapkan bahwa Corby kerap bertingkah seolah-olah gila untuk mendapatkan simpati Presiden. Ini berarti Corby telah berbohong demi memperoleh pengurangan hukuman yang besar. Ia terbukti berhasil menipu dokter Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga Presiden.
Menyikapi informasi ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mesti segera memeriksa kembali Corby. Direktorat memang telah membentuk Tim Pengawasan Pemasyarakatan. Tapi tim tersebut baru sebatas mengevaluasi kasus munculnya Corby dan keluarganya dalam tayangan di televisi Australia. Tim bisa segera meningkatkan penyelidikan terhadap kesaksian terbaru sahabat Corby.
Pada kasus tayangan itu saja, sebetulnya Tim Pengawasan tak perlu berlama-lama mengevaluasi. Pernyataan kakak Corby bahwa mariyuana yang dibawa adiknya bisa jadi berasal dari Indonesia telah menghina Indonesia. Pernyataan itu juga telah melanggar kesepakatan pembebasan bersyarat, yakni tak melakukan perbuatan yang dapat meresahkan masyarakat Indonesia.
Pernyataan kakak dan sahabat Corby itu jelas telah mencoreng pemerintah Yudhoyono, yang boleh jadi telah keliru memberi grasi. Pemerintah, melalui tim yang telah dibentuk, tak boleh tinggal diam. Tim harus segera memutuskan status Corby: dikembalikan ke penjara atau dibiarkan melenggang sesukanya.