Kebijakan Gubernur Riau Annas Maamun, yang baru dua bulan terpilih, sangat layak dikecam. Alih-alih bersicepat menunjukkan kinerja yang cemerlang, ia justru sigap mengangkat kolega dan kerabatnya untuk menduduki sejumlah jabatan penting.
Mantan Bupati Rokan Hilir itu memboyong Sekretaris Daerah Rokan Hilir Wan Amir Firdaus menjadi Asisten II Sekretariat Daerah Provinsi Riau. Lalu dokter Anwar, yang sebelumnya menjabat Kepala Rumah Sakit Umum Rokan Hilir, diangkat menjadi Direktur Utama RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Annas juga menunjuk menantunya, Dwi Agus Sumarno, sebagai Kepala Dinas Pendidikan Riau. Menantunya yang lain, Maman Supriadi, diangkat menjadi manajer klub sepak bola PSPS Pekanbaru. Pak Gubernur juga menunjuk anak kandungnya, Noor Charis Putra, 27 tahun, sebagai Kepala Seksi Jalan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau.
Ia rupanya tak mau kalah dari sejumlah gubernur lain yang membangun dinasti politik di daerahnya, seperti Gubernur Banten Atut Chosiyah dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Di daerah lain, tidak sedikit bupati atau wali kota yang digantikan istri atau anaknya.
Upaya Annas ini semestinya bisa dipotong sebelum menggurita. Apa yang terjadi di Banten jelas menunjukkan bahwa dinasti politik hanya memperkaya keluarga dan menyengsarakan rakyat. Proyek-proyek dibuat bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melainkan untuk mempertebal kantong para anggota keluarga.
Sepak terjang Gubernur Annas jelas telah mengkhianati amanat reformasi yang mengharamkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adalah kewajiban DPRD Riau, sebagai bagian tak terpisahkan dari pemerintah daerah Provinsi Riau, untuk mempertanyakan langkah Annas itu. Dewan harus memastikan apakah pengangkatan ini dilakukan berdasarkan aturan dan asas kepatutan.
Semestinya tak ada keraguan bagi parlemen melakukan pemanggilan itu. Gubernur, bupati, atau wali kota jelas punya patokan yang baku bagaimana memutasikan atau mempromosikan bawahannya untuk jabatan tertentu. Aturan untuk itu sudah disiapkan oleh pemerintah pusat. Namun pada akhirnya keputusan memang ada di tangan kepala daerah tersebut.
Kementerian Dalam Negeri pernah menengarai bahwa, pada 2013, terdapat 57 kepala daerah yang berusaha membangun dinasti politik. Dari 57 kepala daerah tersebut, 17 akhirnya gagal meneruskan kekuasaan. Selebihnya sukses mengangkangi kursi nomor satu di daerah masing-masing.
Memangkas tindakan buruk ketika masih baru akan jauh lebih efektif ketimbang ketika sebuah dinasti sudah berurat berakar seperti yang terjadi di Banten. Masyarakat juga harus bertanggung jawab karena mereka seperti membiarkan dinasti ini terus menguat dan pada saatnya mereka akan menyesal membiarkan hal itu terjadi.
Sebaliknya, banyak contoh di wilayah lain yang menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, melelang jabatan camat, lurah, dan terakhir kepala sekolah. Dari praktek ini, terlihat ada perbaikan kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD) atau lembaga pasca-lelang jabatan ini.