Kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah sangat mengkhawatirkan. Baru saja kembali terungkap kasus kejahatan seksual terhadap seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun. Si anak didiagnosis juga terkena herpes akibat perbuatan keji itu.
Sungguh menyedihkan, kekejian itu terjadi di toilet sebuah sekolah internasional di Jakarta. Pelakunya bukan hanya satu orang, melainkan juga sejumlah petugas kebersihan di sekolah tersebut. Kejadian ini diduga juga sudah berkali-kali dilakukan dan korbannya bisa saja bukan cuma satu.
Selain rumah, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Tempat di mana para orang tua mempercayakan pendidikan, sekaligus masa depan anak-anak mereka. Termasuk di dalamnya adalah menjaga anak-anak itu dari bahaya apa pun dan dari mana pun, terutama di lingkungan sekolah.
Angka kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia cukup tinggi. Demikian pula kejahatan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah. Angka yang disodorkan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia sungguh mencengangkan sekaligus membuat kita takut.
Selama semester pertama 2013, ada 535 laporan kasus kejahatan seksual terhadap anak. Kejahatan seksual terhadap anak paling banyak dilakukan di lingkungan sosial, yakni 54 persen. Kemudian lingkungan keluarga 27 persen dan di sekolah tercatat 17 persen.
Kejahatan di sekolah internasional ini harus ditangani dengan keras. Dampak kejahatan seksual terhadap anak sangat besar. Trauma yang harus dihadapi si bocah setiap hari menyebabkan psikologi si anak terganggu. Dan trauma ini bisa terbawa hingga mereka dewasa.
Pelaku harus dihukum berat dengan ancaman hukuman maksimal. Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa pelaku kejahatan bisa diancam dengan hukuman paling lama 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp 300 juta. Apalagi kejahatan ini diduga dilakukan secara terencana dan berulang kali.
Pengelola sekolah juga mesti bertanggung jawab karena pelakunya adalah komplotan yang melibatkan orang-orang yang bekerja di sekolah itu. Harus ada sanksi terhadap sekolah agar mereka lebih awas terhadap anak didik dan lingkungan sekolah.
Sekolah internasional ini memang bukan tempat terbuka dan sudah dilengkapi dengan kamera pengawas (CCTV). Tapi adanya insiden ini menunjukkan ada masalah pengawasan yang "bolong". Dan hal ini, tentu saja, tidak melulu soal peralatan, tapi juga sistem atau mekanisme pengawasan terhadap anak-anak selama di sekolah.
Sekolah juga harus bertanggung jawab atas proses pemulihan si anak, baik kesehatan fisik maupun trauma psikologisnya. Proses ini bisa jadi berlangsung sangat panjang, tapi sekolah harus menanggung semua pembiayaannya, berapa pun jumlahnya.
Ke depan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu membuat sistem atau mekanisme pengawasan standar di sekolah pada semua tingkatan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan belajar anak-anak, terutama di lingkungan sekolah. Anak-anak itu bersekolah untuk mendapatkan berbagai ilmu, bukan bahaya, atau bahkan bencana yang merusak hidupnya.