Komitmen pemerintah yang ingin membatasi konsumsi bahan bakar minyak untuk mobil murah layak diragukan. Berkali-kali pemerintah merugikan negeri sendiri ketika mengambil kebijakan pembatasan energi. Rendahnya capaian pemasangan radio frequency identification (RFID) di Jakarta merupakan salah satu contohnya. Program itu menelan biaya sangat mahal dan tak sebanding dengan manfaatnya.
Kontroversi yang paling anyar adalah rencana pembatasan penggunaan BBM untuk mobil murah, atawa low cost green car, melalui pengubahan ukuran mulut slang (nozzle) di stasiun pengisian bahan bakar. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mendesak PT Pertamina segera mengubah ukuran nozzle agar mobil murah tak bisa membeli BBM bersubsidi. Pada saat bersamaan, Hidayat juga meminta produsen mengubah ukuran lubang tangki BBM. Hidayat mengaku sudah bertemu dengan petinggi PT Astra International, yang notabene menguasai 53 persen pangsa pasar mobil murah di Indonesia. Tapi imbauan itu bak berbicara dengan tembok. Menteri mengimbau, produsen mobil tetap berlalu.
Menteri Perindustrian kebakaran jenggot setelah penjualan mobil seharga Rp 100-an juta ini meledak. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memprediksi penjualan mobil tipe ini sepanjang 2014 mencapai 120 ribu unit. Bisa dipastikan konsumsi BBM bersubsidi pun membengkak. Inilah yang membuat Menteri Keuangan Chatib Basri cemas. Pemerintah bisa menombok dua kali. Mobil ini sudah tidak bayar pajak barang mewah, juga membikin jebol kuota anggaran subsidi BBM. Maka, Maret lalu, Menteri Keuangan mengirim surat kepada Menteri Perindustrian, menagih janji bahwa mobil bermesin 980 sampai 1.200 cc itu tidak memakai BBM bersubsidi.
Sejak awal, kebijakan pemerintah membolehkan mobil murah lewat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 penuh dengan asumsi yang keliru. Misalnya, janji bahwa mobil murah tak akan membuat macet perkotaan karena ditujukan untuk angkutan pedesaan. Ada lagi janji bahwa mobil murah tak bakal pakai BBM bersubsidi. Namun Kementerian Perindustrian tak membuat secuil pun sistem yang membatasi mobil itu "minum" BBM bersubsidi.
Rencana Hidayat membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan nozzle sangat terlambat dan tidak tepat sasaran. Rencana itu hanya mengulang kebodohan pemasangan RFID yang sampai sekarang tak jelas juntrungan dan manfaatnya. Padahal pemerintah diperkirakan mengeluarkan biaya pemasangan sekitar Rp 864 miliar per tahun. Berapa lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk mengubah puluhan ribu mulut slang pompa bensin di seantero Indonesia? Produsen mobil pun ada kemungkinan bakal melengos lantaran mengubah ukuran mulut tangki itu bisa memicu biaya investasi baru.
Untuk menekan konsumsi bahan bakar bersubsidi, tak ada jalan selain menaikkan harga BBM bersubsidi. Harga bahan bakar yang lebih mahal akan mengurangi konsumsi atau membuat pengguna beralih ke transportasi publik. Imbauan saja tak bakal mempan.