Setelah lebih dari 16 tahun mengalami periode ketatanegaraan yang menitikberatkan pada peran parlemen (legislative-heavy), sudah saatnya Indonesia kembali ke titik kesetimbangan. Gugatan judicial review yang diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia, Edy Suandi Hamid, ke Mahkamah Konstitusi, dua pekan lalu, merupakan kesempatan emas untuk mencapai hal tersebut.
Judicial review yang diajukan Edy berpotensi mengoreksi dua kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat yang selama ini membuat lembaga itu amat berkuasa. Yang pertama adalah kewenangan Senayan memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang kedua, kewenangan DPR memilih komisioner Komisi Yudisial.
Bersenjatakan dua kewenangan tersebut, parlemen menjadi sangat berkuasa menentukan hitam-putih penegakan hukum di negeri ini. Semua orang sadar bahwa KPK merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi. Sedangkan Komisi Yudisial adalah harapan untuk membersihkan para hakim dari jajaran pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung.
Realitas selama ini menunjukkan bahwa para politikus di Senayan lebih sering menyalahgunakan kedua kewenangan tersebut. Semangat esprit de corps para politikus yang merasa menjadi sasaran gerakan pemberantasan korupsi menjadikan mereka kerap mencari celah untuk melemahkan kewenangan KPK. Inisiatif untuk mendukung dan menguatkan kapasitas Komisi Yudisial juga jarang terdengar dari parlemen.
Dengan alasan itulah, gugatan Edy punya landasan kuat. Apalagi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas-jelas mengatur bahwa DPR hanya punya tiga fungsi: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Kewenangan DPR memilih pimpinan lembaga negara hanya tercantum dalam pasal mengenai tata cara seleksi pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dan tiga hakim Mahkamah Konstitusi. Selebihnya, politikus Senayan sebenarnya hanya bisa memberikan pertimbangan atau persetujuan.
Selain itu, patut dicatat bahwa tren menuju titik kesetimbangan dalam sistem ketatanegaraan kita sebenarnya sudah dimulai. Pada awal Januari lalu, para hakim konstitusi memutuskan bahwa DPR tidak berhak lagi menyeleksi hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial. Sesuai dengan konstitusi, parlemen hanya berhak memberikan persetujuan atas nama-nama calon hakim agung. Sebelumnya, peran DPR dalam memilih calon duta besar yang diajukan presiden juga sudah dihapuskan.
Menghilangkan kewenangan DPR dalam seleksi pimpinan KPK dan Komisi Yudisial akan memberikan harapan baru bagi publik. Calon-calon terbaik yang selama ini kandas akibat pertimbangan politik di DPR kini punya kans untuk lolos. Pimpinan yang terpilih pun dijamin tak bakal tersandera oleh utang budi, yang membuatnya kerap sungkan bersikap independen terhadap Senayan.
Sudah lama rakyat merindukan gerakan pemberantasan korupsi yang lebih trengginas dan hakim-hakim yang lebih bersih. Kini Mahkamah Konstitusi punya kesempatan mewujudkan harapan itu.