Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

1944

Oleh

image-gnews
Iklan

DUNIA tampak sedikit lebih tenang di Dumbarton Oaks hari itu. Musim gugur mendekat, udara bertambah sejuk seperti lazimnya bulan September, dan di rumah yang dihiasi lukisan dari zaman Bizantium dan Abad Tengah itu, di antara petak-petak kebun yang asri, empat menteri luar negeri bertemu—seakan-akan setelah itu, tak ada musim dingin yang akan mencengkeram.

Sebuah cita-cita tinggi sedang hendak dicapai, sebuah rencana besar disusun: mereka menyiapkan cetak-biru sebuah lembaga yang disebut "Perserikatan Bangsa-Bangsa". Mimpi mereka perdamaian, niat mereka keamanan dunia. Mereka—wakil Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Cina—datang karena rasa ngeri, tapi juga karena sangka baik.

Betapa berbeda tahun 1944 itu dengan tahun 2003. Di Dumbarton Oaks, harapan sedang naik. Posisi keempat negeri yang bertemu itu di atas angin dalam perang besar yang melanda Eropa, Afrika, dan Asia. Musuh mereka, Jerman, Italia, dan Jepang, sudah terdesak. Tapi para calon pemenang itu toh tahu betapa besar ongkos konflik selama lima tahun itu. Seusai perang, tercatat 21 juta orang sipil tewas—setelah Hitler bunuh diri di bunkernya di Berlin dan bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.

Dunia gentar. Para pemimpin pelbagai negeri berupaya untuk menemukan cara dan institusi yang dapat menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Ide untuk mendirikan PBB bahkan bermula sebelum pertemuan di Dumbarton Oaks.

Hulunya bisa ditemukan dalam Atlantic Charter yang disusun Presiden AS Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill pada tahun 1941. Atau bahkan jauh sebelumnya, setiap kali manusia baru merasakan luka busuk peperangan. Immanuel Kant telah memikirkannya pada tahun 1795. Presiden Wilson melaksanakan gagasan yang sama pada tahun 1918, dengan mendirikan Liga Bangsa-Bangsa.

Kant, Wilson, dan pertemuan di Dumbarton Oaks sama-sama bertolak dari sebuah sangka baik, bahwa setelah sebuah perang besar, bangsa-bangsa akan bersedia bekerja sama, dan berunding, untuk perdamaian.

Tapi tak jarang memang sangka baik itu ditertawakan oleh mereka yang bisa menunjukkan bahwa dunia bukanlah sebuah resepsi perkawinan. PBB dianggap telah keliru dalam memandang bagaimana dunia "sebenarnya".

Mungkin karena PBB berangkat dari cita-cita yang terlampau luhur hingga harus dilaksanakan dengan sikap pragmatik—tapi sebuah sikap pragmatik yang sering membingungkan.

Dalam cita-cita itu, perdamaian dunia akan dikaitkan dengan perkawanan dan kesetaraan. Tapi tak mudah untuk memutuskan apa dan siapa yang berdamai dan setara di dunia ini. Akhirnya, "bangsa"-lah yang dipilih untuk menjadi sang subyek.

Sebagai konsekuensinya, "bangsa" harus dianggap homogen dalam tubuhnya. Sebuah "bangsa" harus diasumsikan punya struktur, punya batas dan otoritas yang mewakilinya. Walhasil, "negara-bangsa"-lah yang diakui sebagai subyek. PBB pada akhirnya memang sebuah perkumpulan "negara-bangsa", lain tidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi "bangsa" bukanlah sebuah subyek yang kukuh apalagi kekal. Pada tahun 1971, misalnya, "bangsa Pakistan" tak lagi berarti mencakup mereka yang hidup di sebelah timur. Bangla Desh menjadi sebuah bangsa tersendiri, dan diterima sebagai anggota PBB pada tahun 1974.

"Negara" juga tak dengan sendirinya identik dengan "bangsa". Kekuasaan yang berada di pucuk "negara", yang dalam sidang PBB mengatasnamakan orang banyak yang hidup di sebuah wilayah, belum tentu sebuah kekuasaan yang diterima orang banyak itu. Yakinkah kita, bisakah "bangsa" Korea Utara diwakili rezim yang sekarang bertakhta? Begitu juga "bangsa" Saud?

Dalam pada itu, "negara" juga bisa berganti secara radikal, seperti setelah robohnya Tembok Berlin pada tahun 1989. USSR atau Uni Soviet tak lagi sebuah federasi komunis, dan Rusia berdiri sendiri pada tahun 1991.

"Negara-bangsa", subyek itu, memang sebuah pengertian yang sering meragukan—dan juga tanpa kesetaraan: begitu besar beda India (penduduknya lebih dari semiliar), misalnya, dari Brunei (penduduknya cuma 300 ribu), meskipun kedua-duanya punya suara yang sama di PBB. Sebenarnya sejak pertemuan di Dumbarton Oaks, telah tampak perbedaan itu: ada bangsa yang menang dan ada yang kalah perang. Itu sebabnya sampai dengan hari ini ada "negara-bangsa" yang duduk dalam Dewan Keamanan dengan kekuasaan memveto keputusan yang diambil. Tapi rupanya di awal abad ke-21, Amerika, salah satu "negara-bangsa" yang punya posisi istimewa itu, kian merasa privilese itu tak memadai.

PBB, bagi pemerintahan Bush, adalah gangguan bagi kedaulatan nasionalnya. Kini Amerika tegak seperti sebuah benteng besar yang memandang ke luar dengan sikap seperti memelototi sebuah wilayah barbar yang mengancam—dalam bentuk Al-Qaidah ataupun AIDS. Dan ia merasa bisa membereskan sendiri wilayah barbar itu. Maka buat apa PBB?

Tapi mari kita bayangkan PBB bubar. Bayangkan sebuah dunia yang tanpa lembaga untuk merundingkan konflik bersenjata antara pelbagai negeri. Bayangkan sebuah dunia tempat penyelesaian sengketa sepenuhnya ditentukan oleh perang dan oleh siapa yang paling kuat dalam perang itu.

Mungkin itulah yang sedang terjadi. Tapi sepenuhnya? Kini sebuah hegemon akan tak cukup dengan hanya menggertak dan menyuap. Dunia kian berliku dan tak terduga. Kekuatan—setidaknya dalam perekonomian—tak pernah bisa bertahan sendirian terus-menerus. Pada akhirnya akan diperlukan juga sebuah daya yang bukan cuma militer, tapi daya untuk meyakinkan tentang apa yang dianggap "adil" dan "tak adil". Dengan kata lain, sebuah "ideologi", yang palsu ataupun setengah palsu, tapi memerlukan percaturan pendapat. Kita tak berada di masa pra-1944, sebelum Dumbarton Oaks, sebelum orang di dunia merasa saling membutuhkan.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Demi Konten, Turis di Cina Mempertaruhkan Nyawanya Bergelantungan di Tebing

1 detik lalu

Paiya Mountain, Cina (dpxq.gov.cn)
Demi Konten, Turis di Cina Mempertaruhkan Nyawanya Bergelantungan di Tebing

Warganet menyayangkan sikap turis di Cina tersebut karena tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga pihak lain.


Kemenhub Sebut Potensi Pemudik Capai 193,6 Juta Orang Tahun Ini

1 menit lalu

Sejumlah penumpang angkutan kapal laut tujuan Tanjung Priok, Jakarta menunggu keberangkatan di terminal keberangkatan Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Rabu 27 Maret 2024. PT Pelni (Persero) Cabang Batam menyiapkan tiket mudik lebaran gratis sebanyak 1.172 lembar untuk kuota keberangkatan 27 Maret, 7 dan 13 April 2024 menggunakan KM Kelud kelas ekonomi rute Batam-Belawan, Sumatera Utara dan Batam-Tanjung Priok, Jakarta. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Kemenhub Sebut Potensi Pemudik Capai 193,6 Juta Orang Tahun Ini

Angka tersebut meningkat dibandingkan potensi pergerakan masyarakat pada musim mudik lebaran 2023, yakni 123,8 juta orang.


Ini Taktik Jokowi Melawan Larangan Ekspor Bijih Nikel oleh WTO

1 menit lalu

Presiden Joko Widodo memberi sambutan usai meresmikan pembangunan pabrik Smelter PT Virtue Dragon Nikel Industri (VDNI) di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin, 27 Desember 2021. Pembangunan smelter milik PT. VDNI merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan nilai investasi di kawasan tersebut mencapai Rp47 triliun dan sampai saat ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 16.515 orang. ANTARA FOTO/Jojon
Ini Taktik Jokowi Melawan Larangan Ekspor Bijih Nikel oleh WTO

Jokowi akan menggunakan taktik mengulur-ulur waktu untuk melawan larangan hilirisasi nikel oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)


Apresiasi Polda Metro Hentikan Kasus Aiman Witjaksono, IPW Singgung Pemeriksaan Ratusan Kades di Jateng

28 menit lalu

Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono saat menghadiri sidang Praperadilan soal penyitaan barang bukti ponsel dalam kasus dugaan 'Polisi Tak Netral' di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 27 Februari 2024. Hakim tunggal menolak seluruh gugatan praperadilan yang diajukan Aiman Witjaksono soal penyitaan ponsel dalam kasus dugaan 'polisi tak netral' dan menyatakan penyitaan ponsel itu tetap sah. TEMPO/M Taufan Rengganis
Apresiasi Polda Metro Hentikan Kasus Aiman Witjaksono, IPW Singgung Pemeriksaan Ratusan Kades di Jateng

IPW mengapresiasi Polda Metro Jaya karena menghentikan kasus Aiman Witjaksono soal polisi tidak netral pada pemilu 2024.


Polisi Belum Mau Buka Identitas Mahasiswa Pelapor Kasus TPPO Ferienjob: Masih Dilindungi dan Diperiksa

39 menit lalu

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko memberikan keterangan pers di lingkungan Markas Besar Polri pada Rabu, 6 Maret 2024. Tempo/ Adil Al Hasan
Polisi Belum Mau Buka Identitas Mahasiswa Pelapor Kasus TPPO Ferienjob: Masih Dilindungi dan Diperiksa

Dugaan TPPO di balik program ferienjob ini bermula dari pengaduan empat mahasiswa ke KBRI di Jerman.


Tidak Ajukan Eksepsi, Dirut PT Sansaine Exindo Terima Dakwaan Rugikan Negara Rp 8 Triliun di Kasus Korupsi BTS 4G

49 menit lalu

Suasana sidang lanjutan kasus korupsi proyek pengadaan BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo di PN Jakarta Pusat pada Selasa, 28 November 2023. Jaksa penuntut umum menghadirkan tujuh orang saksi untuk terdakwa Windi Purnama dan Muhammad Yusrizki Muliawan. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Tidak Ajukan Eksepsi, Dirut PT Sansaine Exindo Terima Dakwaan Rugikan Negara Rp 8 Triliun di Kasus Korupsi BTS 4G

Kuasa hukum Dirut PT. Sansaine Exindo, Jemy Sutjiawan menyatakan menerima dakwaan dan tidak mengajukan eksepsi di kasus korupsi BTS 4G.


Tim Hukum AMIN Duga Jokowi Gerakkan Para Menteri Menangkan Prabowo-Gibran, Ini Jejak Mereka

50 menit lalu

Petugas kepolisian bersenjata melakukan pengamanan disekitar Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa 26 Maret 2024.  Satu hari jelang sidang perdana sengketa perselisihan hasil Pemilu 2024 pada hari Rabu 27 Maret 2024, pengamanan gedung MK diperketat.  TEMPO/Subekti.
Tim Hukum AMIN Duga Jokowi Gerakkan Para Menteri Menangkan Prabowo-Gibran, Ini Jejak Mereka

Presiden Joko Widodo disebut-sebut Tim Hukum AMIN menggerakkan atau membiarkan menteri di kabinetnya kampanyekan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024


Gunung Semeru Erupsi Disertai Gempa Awan Panas Guguran Selama 27 Menit

1 jam lalu

Gunung Semeru erupsi pada Sabtu, 9 Maret 2024, pukul 08.28 WIB (ANTARA/HO-PVMBG)
Gunung Semeru Erupsi Disertai Gempa Awan Panas Guguran Selama 27 Menit

Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Gunung Semeru melaporkan adanya erupsi disertai gempa awan panas guguran selama 27 menit, Kamis sore, 28 Maret 2024,


Polisi Beberkan Modus dan Bukti Pemalsuan BBM di 4 SPBU Tangerang, Jakarta, dan Depok

1 jam lalu

Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Nunung Syaifuddin (kanan), memberikan keterangan tentang pemalsuan bahan bakar minyak (BBM) Pertalite menjadi Pertamax di empat SPBU, di Gedung Bareskrim, Jalan Trunojoyo No. 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Polisi Beberkan Modus dan Bukti Pemalsuan BBM di 4 SPBU Tangerang, Jakarta, dan Depok

Bareskrim Polri mengungkap modus dalam kasus pemalsuan bahan bakar minyak atau BBM Pertamax yang libatkan empat tangki pendam di 4 SPBU.


Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

1 jam lalu

Muh Anwar alias Bayu Aji Anwari. Facebook
Kiai Abal-Abal Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Santri di Semarang Dituntut 15 Tahun Penjara

Bayu Aji Anwari, pimpinan Yayasan Islam Nuril Anwar Kota Semarang dituntut 15 tahun penjara. Didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap 6 santri.