Tiap sistem keimanan akan didatangi seorang Gatholocosebuah sosok negatif. Dalam khazanah Islam di Jawa, nama tokoh ini berasal dari sebuah puisi naratif panjang yang kontroversial.
Ia kadang digambarkan sebagai orang berbadan pendek kurus, berambut keriting, berkulit muka bopeng bekas cacar, bermata juling. Di mulutnya yang kecil terpasang gigi yang ruwet. Kupingnya lebar, dadanya cacat dan perutnya buncit. Kulitnya kotor seakan-akan bersisik (mbesisik mangkak), dan napasnya tersengal-sengal.
Dengan kata lain, Gatholoco tampil sebagai seseorang yang akan sulit sekali diterima orang ramai. Dan itulah yang terjadi, ketika dalam kisah ini, tiga orang kiai dari Pondok Pesantren Rejasari menemuinya di jalan menuju Pondok Cepèkan. Segera mereka menampik Gatholoco sebagai sebuah bentuk yang luar biasa buruk, menggelikan, dan malah layak dikutuk: dengan tenangnya makhluk ini selalu memegang bedudan, pipa bambu untuk mengisap candu.
"Astagfirullah!" seru para kiai. Maka salah seorang dari mereka bertanya siapa nama orang ini, dan di mana pula rumahnya.
"Namaku Gatholoco," katanya dengan suara tenang dan penuh percaya diri. "Aku manusia lelaki sejati, dan rumahku di tengah jagat."
Ketika ketiga kiai itu tertawa mendengar nama yang tak lazim itu, Gatholoco tanpa tersinggung menjelaskan. Gatho, katanya, berarti "kepala yang rahasia" (sirah kang wadi), dan loco berarti untuk digosokkan (pranti gosokan).
Tampak ada asosiasi antara nama itu dengan phallus, dan para kiai tahu ada yang saruaib, jorok dalam kaitannya dengan yang seksualdalam ekspresi Gatholoco. Nama itu bukan saja buruk, tapi juga "haram, najis, lan mekruh". Dengan kata lain, seluruh diri Gatholoco adalah sebuah kontravensi. Ia sebuah penolakan.
Dan itulah yang dilakukannyaatau itulah yang dilakukan oleh penulis naskah ini. Sang tokoh dengan bangga mengatakan, kepada dirinya sendiri, bahwa "ingsun seneng bantah ilmu", ia senang berbantah tentang ilmu, dan "ora mundur bantah kawruh", tak akan mundur berbantah dalam perihal pengetahuan. Terutama dengan ortodoksi yang berkuasa di kalangan muslim, yang dalam naskah ini dilambangkan dalam diri para kiai di pondok-pondok.
Bagaimana sebenarnya agama Gatholoco sendiri tak begitu jelasdan mungkin, sebagai sebuah kontravensi terhadap segala yang bersih, lurus, dan terang, ia harus tidak jelas. Terkadang ia mengutarakan keinginan untuk mengembalikan ke-Jawa-an yang asli, semacam "nasionalisme" kebudayaan yang memang tak jarang muncul dalam perbincangan di Jawa sampai pertengahan abad ke-20.
"Agama Nabi Muhammad," katanya, "adalah agama orang Arab." Dan Tanah Jawa rusak, juga agama lamanya, karena dibawahkan "orang lain" itu (kabawah mring liyan jinis).
Tapi di bagian lain, ia menganggap Nabi Muhammad seakan-akan sebuah kekuatan yang menguasai dirinya: "Pangucap pangélingingsun, pangganda pamiyarsa, déné lésan lawan dhiri, kabèh kagungané Rasulullah" (ucapan dan ingatanku, pencium dan penglihatanku, lisanku dan diriku, semua itu milik Rasulullah). Dalam kesusastraan mistik atau suluk, acap kali memang "Muhammad" atau "Nur Muhammad" disebut sebagai sebuah kekuatan batin atau ruhani tempat manusia menemukan dirinya yang rindu untuk menyatu dengan Allah.
Semangat ala Gatholoco memang tampak dalam pandangan mistisisme di mana-mana, juga dalam sejarah Kristen dan Yahudi: suatu dorongan dan hasrat untuk membuat iman jadi sebuah peristiwa internal seutuhnya, ketika agama telah jadi sejenis lembaga yang mengatur perilaku orang. Sebab, "perilaku" hanyalah sesuatu yang lahiriahsatu-satunya hal yang dapat diawasi dan dibuat beraturan dengan hukum.
Itu pula yang dikatakan Gatholoco kepada para kiai yang mengecamnya. Bagi laki-laki yang merasa lebih unggul pengetahuannya ketimbang para kiai ulung itu, beribadat dengan rapi mengikuti aturan waktu salat bukanlah sikap menyembah Tuhan, melainkan "mung mangéran marang wayah", hanya mempertuhankan waktu. Ketika Kiai Hasan Besari dari Pondok Cepèkan menunjukkan bahwa Gatholoco tak pernah bersembahyang, sang tamu pun menjawab tangkas: "Sembahyangku kekal dan tak pernah henti." Ia bersujud ke hadapan Tuhan bersama dengan napasnya, katanya, dan tak cuma diperintah oleh jadwal.
Discourse Gatholoco tentu saja tak mudah dikisahkan kembali. Percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifatnya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.
Bentuk tembang untuk perjalanan Gatholoco sebenarnya bukan medium yang sesuai untuk apa yang hendak disampaikan di sanayakni sebuah perdebatan. Perdebatan mengasumsikan ada konvensi bersama tentang pemberian makna. Dengan kata lain, ada sifat yang tetap dan dapat diandalkan. Tapi dalam tembang, dalam puisi, kata sering bukan mengikuti subyek yang berdaulat dalam menetapkan makna; acap kali kata bergerak mengikuti "dorongan" puitik. Puisi mengandung sesuatu yang majenun.
Gatholoco sendiri majenun dan ia tahu. Tapi, katanya, "ingsun edan urut margi, nunut margané kamulyan" ("aku gila sepanjang jalan, mengikuti jalan dalam kemuliaan").
"Gila sepanjang jalan" memang mengisyaratkan sesuatu yang kacau dan membingungkanbukan sebuah arah yang dengan ajek dan mantap didatangi. Tapi ada yang mulia di sana: ada kerinduan kepada Yang Maha Benar yang tak digantikan oleh para pemasang rambu-rambu. Dengan segala niat baik, para pengatur ingin menyelamatkan manusia. Tapi ia hanya menggantikan Tuhan dengan Regulasi. Pada saat itu, tiap iman akan kedatangan seorang Gatholoco.
Goenawan Mohamad