Karbala dan kematianberapa kali lagi tragedi disebut dalam dua kata itu? Tiap kali terjadi pembunuhan di sana, kita bertanya, mungkin dengan suara yang tak bisa keras, apakah meneguhkan kekuasaan, ataukah sebaliknya?
Pembantaian pertama tercatat lebih dari 1.300 tahun yang lalu. Daulat Ummayah memperkukuh posisi politiknya sebagai pemegang kekhalifahan Islam dengan membunuh Husain, cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680. Sejak itu para pengikut yang kalah dan terserak-serak membentuk kekuatan dengan keyakinan sendiri, dan gerakan Syiah pun lahir. Dan Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah, pun jadi lambang pengorbanan dan kesedihan, ketahanan dan harapan. Juga statemen perbedaan.
Orang Syiah kemudian mendirikan masjid dan makam syuhada besarnya di kota itu. Tapi hampir 200 tahun kemudian, pada tahun 851, Khalif Al-Mutawakkil menghancurkannya. Orang Syiah dianiaya lagi. Kian lama kian tampak betapa iman dan kekuasaan saling menghalalkan. Jika Anda bertanya apa arti "iman" di sini, jawabnya bergantung pada mereka yang bertindak atas nama "iman" itu.
Al-Mutawakkil, yang bertakhta pada tahun 847, oleh sejarah Syiah digambarkan sebagai "tiran yang berdarah". Ada diceritakan bagaimana khalif ini suka dihibur para badut yang mencemooh Ali ibn Thalib, menantu Nabi, tokoh yang dipuja orang Syiah di atas siapa pun selain Rasulullah. Tapi justru itu mungkin sang Khalif memandang dirinya sendiri sebagai orang yang tawakalseperti tersirat dari namanyaatau penjaga akidah.
Begitulah pasti ia ingin dikenang. Kini orang masih bisa menyaksikan Masjid Al-Mutawakkil yang selesai didirikannya pada tahun 852 di Samarra. Masjid terbesar di dunia Islam masa itu, seluas 239 x 156 meter persegi, juga sebuah karya arsitektur yang tampak tak ruwet tapi mempesona. Menaranya, dengan tubuh tambun dan pucuk setinggi 52 meter, tampak seperti spiral yang terbentuk dari tangga. Konon Al-Mutawakkil sering menaiki tangga itu dengan mengendarai keledai putih dari Mesirseakan-akan dalam perjalanan yang khidmat, tapi terhormat, mendekati Allah.
Sebab ia merasa telah mendekati Allah dengan cara lain: sebagaimana ia membangun arsitektur besar dengan bentuk yang tak meliuk-liuk, ia juga ingin menyusun daulatnya secara lurus dan rapi. Sejarawan Al-Tabari mencatat bagaimana sang Khalif mengatur ruang hidup di seantero negeri dengan garis yang tegas. Pada tahun 850, diletakkanlah batas yang terang yang memisahkan orang Kristen dan Yahudi dari orang Islam. Mereka harus berpakaian dengan warna tertentu, yakni warna madu. Mereka harus naik kuda dengan sanggurdi kayu, dan memasang dua kancing di topi. Mereka bukan saja tak boleh jadi pegawai kerajaan, membuat makam yang lebih tinggi ketimbang makam muslimin pun dilarang.
Meratakan, itulah agaknya garis besar desain yang dipakai. Gereja dan sinagoge yang didirikan setelah Islam datang harus dihancurkan. Sepersepuluh dari luas rumah orang Kristen dan Yahudi disita. Jika cukup luas, dijadikan masjid atau tempat umum.
Tak boleh ada yang mencongdan itu tak hanya mengenai bangunan dan kehidupan, tapi juga pemikiran. Maka Al-Mutawakkil membungkam kaum Mu'tazilahpara pemikir yang bisa dikatakan sebagai pendahulu Aufklärung, berabad-abad sebelum Eropa merumuskan peran manusia sebagai makhluk penafsir yang mandiri. Bagi kaum Mu'tazilah, Quran adalah makhluk. Kitab itu adalah ciptaan, dan sebab itu tak setara dengan Tuhan sendiri. Bacaan ini memang mulia, tapi bukan sesuatu yang mahasuci dan abadi. Bagi kaum Mu'tazilah, tiap kali Quran datang kepada kita, ia datang melalui penafsiran kita atau orang lainbaik orang awam maupun para fuqaha yang pintar hukum agama. Betapapun indah dan agungnya, Kalam Ilahi itu tetap diungkapkan dan diterima dalam bahasa yang terikat ruang dan waktu.
Dalam arti itu kaum Mu'tazilah meneguhkan keyakinan bahwa tak ada apa pun yang menyamai Tuhan. Juga boleh dikatakan, mereka memandang kata dan tafsir mirip dengan apa yang lebih dari 1.300 tahun kemudian diutarakan kaum "dekonstruksionis" dan lain-lain: bahwa bahasa bukanlah ibarat sebuah pipa lempang, sesuatu yang sepenuhnya transparan dan konsisten. Juga bahwa sang pembaca, atau pendengar, lebih menentukan makna kata, apalagi ketika yang berkata-kata tak hadir di hadapannya. Maka Quran tak akan pernah tertutup di satu kesimpulan.
Namun bagaimana seorang penguasa bisa menerima pikiran macam ini? Bukankah dengan demikian tak ada hukum yang pasti? Dan tanpa kepastian dan ketunggalan, bagaimana kekuasaan akan bertopang dan masyarakat didisiplinkan?
Memperkukuh diri dan mendisiplinkan memang hasrat lazim penguasaapalagi yang merasa didukung ketentuan syariah. Bagi mereka ini, tiap Karbala harus dihancurkan: tiap statemen perbedaan, tiap lambang dari "sana" yang mengingatkan tragedi akibat kesewenang-wenangan dari "sini", harus dihapus.
Apalagi Al-Mutawakkil punya preseden. Dua puluh tahun sebelumnya, kaum Mu'tazilah begitu percaya kepada kebenaran mereka sendiri, hingga Khalif Al-Mamun, pendukung Mu'tazilah yang yakin, memaklumkan paham ini sebagai doktrin resmi Daulat Ummayah. Orang tak boleh jadi saksi di mahkamah, apalagi jadi hakim, jika tak mau menerima prinsip bahwa Quran adalah makhluk.
Pengganti Al-Mamun melanjutkan pemaksaan ini, dengan lebih keras. Syahdan, seorang alim, Ibn Hanbal namanya, sempat disiksa dan dipenjarakan. Tapi justru sebab itu ia dianggap orang ramai sebagai wali dan syuhadayang tampil dengan ajaran yang ketat tentang tafsir dan hukum, seakan sebuah antitesis bagi "pencerahan" Mu'tazilah yang gagal.
Sulit rupanya belajar dari Karbala: bahwa iman bisa dipergunakan untuk mengukuhkan kekuasaan, tapi dari gurun pasir Mesopotamia sekalipun, iman juga bisa melahirkan sebuah kekuatan tandingan. Dari tragedi, lahir sejarah lagi.
Goenawan Mohamad