Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Karbala

Oleh

image-gnews
Iklan

Karbala dan kematian—berapa kali lagi tragedi disebut dalam dua kata itu? Tiap kali terjadi pembunuhan di sana, kita bertanya, mungkin dengan suara yang tak bisa keras, apakah meneguhkan kekuasaan, ataukah sebaliknya?

Pembantaian pertama tercatat lebih dari 1.300 tahun yang lalu. Daulat Ummayah memperkukuh posisi politiknya sebagai pemegang kekhalifahan Islam dengan membunuh Husain, cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680. Sejak itu para pengikut yang kalah dan terserak-serak membentuk kekuatan dengan keyakinan sendiri, dan gerakan Syiah pun lahir. Dan Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah, pun jadi lambang pengorbanan dan kesedihan, ketahanan dan harapan. Juga statemen perbedaan.

Orang Syiah kemudian mendirikan masjid dan makam syuhada besarnya di kota itu. Tapi hampir 200 tahun kemudian, pada tahun 851, Khalif Al-Mutawakkil menghancurkannya. Orang Syiah dianiaya lagi. Kian lama kian tampak betapa iman dan kekuasaan saling menghalalkan. Jika Anda bertanya apa arti "iman" di sini, jawabnya bergantung pada mereka yang bertindak atas nama "iman" itu.

Al-Mutawakkil, yang bertakhta pada tahun 847, oleh sejarah Syiah digambarkan sebagai "tiran yang berdarah". Ada diceritakan bagaimana khalif ini suka dihibur para badut yang mencemooh Ali ibn Thalib, menantu Nabi, tokoh yang dipuja orang Syiah di atas siapa pun selain Rasulullah. Tapi justru itu mungkin sang Khalif memandang dirinya sendiri sebagai orang yang tawakal—seperti tersirat dari namanya—atau penjaga akidah.

Begitulah pasti ia ingin dikenang. Kini orang masih bisa menyaksikan Masjid Al-Mutawakkil yang selesai didirikannya pada tahun 852 di Samarra. Masjid terbesar di dunia Islam masa itu, seluas 239 x 156 meter persegi, juga sebuah karya arsitektur yang tampak tak ruwet tapi mempesona. Menaranya, dengan tubuh tambun dan pucuk setinggi 52 meter, tampak seperti spiral yang terbentuk dari tangga. Konon Al-Mutawakkil sering menaiki tangga itu dengan mengendarai keledai putih dari Mesir—seakan-akan dalam perjalanan yang khidmat, tapi terhormat, mendekati Allah.

Sebab ia merasa telah mendekati Allah dengan cara lain: sebagaimana ia membangun arsitektur besar dengan bentuk yang tak meliuk-liuk, ia juga ingin menyusun daulatnya secara lurus dan rapi. Sejarawan Al-Tabari mencatat bagaimana sang Khalif mengatur ruang hidup di seantero negeri dengan garis yang tegas. Pada tahun 850, diletakkanlah batas yang terang yang memisahkan orang Kristen dan Yahudi dari orang Islam. Mereka harus berpakaian dengan warna tertentu, yakni warna madu. Mereka harus naik kuda dengan sanggurdi kayu, dan memasang dua kancing di topi. Mereka bukan saja tak boleh jadi pegawai kerajaan, membuat makam yang lebih tinggi ketimbang makam muslimin pun dilarang.

Meratakan, itulah agaknya garis besar desain yang dipakai. Gereja dan sinagoge yang didirikan setelah Islam datang harus dihancurkan. Sepersepuluh dari luas rumah orang Kristen dan Yahudi disita. Jika cukup luas, dijadikan masjid atau tempat umum.

Tak boleh ada yang mencong—dan itu tak hanya mengenai bangunan dan kehidupan, tapi juga pemikiran. Maka Al-Mutawakkil membungkam kaum Mu'tazilah—para pemikir yang bisa dikatakan sebagai pendahulu Aufklärung, berabad-abad sebelum Eropa merumuskan peran manusia sebagai makhluk penafsir yang mandiri. Bagi kaum Mu'tazilah, Quran adalah makhluk. Kitab itu adalah ciptaan, dan sebab itu tak setara dengan Tuhan sendiri. Bacaan ini memang mulia, tapi bukan sesuatu yang mahasuci dan abadi. Bagi kaum Mu'tazilah, tiap kali Quran datang kepada kita, ia datang melalui penafsiran kita atau orang lain—baik orang awam maupun para fuqaha yang pintar hukum agama. Betapapun indah dan agungnya, Kalam Ilahi itu tetap diungkapkan dan diterima dalam bahasa yang terikat ruang dan waktu.

Dalam arti itu kaum Mu'tazilah meneguhkan keyakinan bahwa tak ada apa pun yang menyamai Tuhan. Juga boleh dikatakan, mereka memandang kata dan tafsir mirip dengan apa yang lebih dari 1.300 tahun kemudian diutarakan kaum "dekonstruksionis" dan lain-lain: bahwa bahasa bukanlah ibarat sebuah pipa lempang, sesuatu yang sepenuhnya transparan dan konsisten. Juga bahwa sang pembaca, atau pendengar, lebih menentukan makna kata, apalagi ketika yang berkata-kata tak hadir di hadapannya. Maka Quran tak akan pernah tertutup di satu kesimpulan.

Namun bagaimana seorang penguasa bisa menerima pikiran macam ini? Bukankah dengan demikian tak ada hukum yang pasti? Dan tanpa kepastian dan ketunggalan, bagaimana kekuasaan akan bertopang dan masyarakat didisiplinkan?

Memperkukuh diri dan mendisiplinkan memang hasrat lazim penguasa—apalagi yang merasa didukung ketentuan syariah. Bagi mereka ini, tiap Karbala harus dihancurkan: tiap statemen perbedaan, tiap lambang dari "sana" yang mengingatkan tragedi akibat kesewenang-wenangan dari "sini", harus dihapus.

Apalagi Al-Mutawakkil punya preseden. Dua puluh tahun sebelumnya, kaum Mu'tazilah begitu percaya kepada kebenaran mereka sendiri, hingga Khalif Al-Mamun, pendukung Mu'tazilah yang yakin, memaklumkan paham ini sebagai doktrin resmi Daulat Ummayah. Orang tak boleh jadi saksi di mahkamah, apalagi jadi hakim, jika tak mau menerima prinsip bahwa Quran adalah makhluk.

Pengganti Al-Mamun melanjutkan pemaksaan ini, dengan lebih keras. Syahdan, seorang alim, Ibn Hanbal namanya, sempat disiksa dan dipenjarakan. Tapi justru sebab itu ia dianggap orang ramai sebagai wali dan syuhada—yang tampil dengan ajaran yang ketat tentang tafsir dan hukum, seakan sebuah antitesis bagi "pencerahan" Mu'tazilah yang gagal.

Sulit rupanya belajar dari Karbala: bahwa iman bisa dipergunakan untuk mengukuhkan kekuasaan, tapi dari gurun pasir Mesopotamia sekalipun, iman juga bisa melahirkan sebuah kekuatan tandingan. Dari tragedi, lahir sejarah lagi.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Respons Jokowi Soal Sidang Sengketa Pilpres di MK

1 menit lalu

Presiden Jokowi ditemui di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Daniel A. Fajri
Respons Jokowi Soal Sidang Sengketa Pilpres di MK

Presiden Jokowi enggan berkomentar soal sengketa pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi


Hak Angket DPR Tak Kunjung Bergulir, Politikus PKB: Kita Masih Tetap Usaha

2 menit lalu

Massa membawa poster saat menggelar aksi unjuk rasa menuntut pengusutan dugaan kecurangan pemilu serta digulirkannya hak angket di Depan Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat, 8 Maret 2024. Aksi tersebut menuntut DPR RI mendukung hak angket serta pengusutan dugaan kecurangan Pilpres dan Pileg dalam Pemilu 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Hak Angket DPR Tak Kunjung Bergulir, Politikus PKB: Kita Masih Tetap Usaha

PKB berharap PDIP dapat bergerak ikut mengajukan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.


Pakar Sawit IPB University Sampaikan Rekomendasi terkait Regulasi EUDR yang Mempersulit Ekspor 7 Komoditas

3 menit lalu

Shutterstock.
Pakar Sawit IPB University Sampaikan Rekomendasi terkait Regulasi EUDR yang Mempersulit Ekspor 7 Komoditas

Regulasi EUDR juga mempengaruhi penggunaan suplemen pakan ternak yang terbuat dari sawit.


4 Jenis Kepesertaan BPJS Kesehatan, Cek Perbedaannya

10 menit lalu

4 Jenis Kepesertaan BPJS Kesehatan, Cek Perbedaannya

Terdapat jenis-jenis kepesertaan BPJS Kesehatan, yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) hingga Pekerja Penerima Upah. Berikut perbedaannya.


DPR Setujui RUU DKJ yang Mengantar Jakarta Bukan IKN Lagi, Ini 7 Garis Besarnya

13 menit lalu

Ilustrasi Monas (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
DPR Setujui RUU DKJ yang Mengantar Jakarta Bukan IKN Lagi, Ini 7 Garis Besarnya

Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ sebagai undang-undang. Jakarta bukan IKN lagi


Bamsoet Dorong Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia

15 menit lalu

Bamsoet Dorong Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia

Bambang Soesatyo mendukung tim Universitas Indonesia Supermileage Vehicle Team membuat serta mengembangkan kendaraan listrik di Indonesia.


Puji Hasyim Asy'ari, Kuasa Hukum KPU Ditegur Ketua MK: Jangan Ditambah-ditambah!

17 menit lalu

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat memimpin Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pemilu 2024 atas permohonan pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nomor 360/2024 tentang penetapan hasil pemilu di Gedung Mahkamah Kontitusi, Jakarta, Rabu 27 Maret 2024. TEMPO/Subekti.
Puji Hasyim Asy'ari, Kuasa Hukum KPU Ditegur Ketua MK: Jangan Ditambah-ditambah!

Ketua MK Suhartoyo menegur Kuasa Hukum KPU RI dalam sidang sengketa Pilpres pada hari ini.


2 Film Horor Indonesia Tayang Saat Libur Lebaran

22 menit lalu

Poster film Siksa Kubur. Dok. Poplicist
2 Film Horor Indonesia Tayang Saat Libur Lebaran

Pada April 2024, dua film horor akan tayang saat momentum libur Lebaran, yaitu Siksa Kubur dan Badarawuhi di Desa Penari


Sumber Kekayaan Helena Lim, Crazy Rich PIK yang Jadi Tersangka Korupsi Timah

24 menit lalu

Helena Lim. Instagram
Sumber Kekayaan Helena Lim, Crazy Rich PIK yang Jadi Tersangka Korupsi Timah

Helena Lim yang dikenal sebagai crazy rich PIK terseret kasus korupsi Timah. Bermula sebagai pegawai bank dari mana sumber kekayaannya?


LPEI Bertemu 3 Bos Perbankan, Bahas Penguatan Ekosistem Ekspor Indonesia

26 menit lalu

LPEI Bertemu 3 Bos Perbankan, Bahas Penguatan Ekosistem Ekspor Indonesia

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bertemu dengan pimpinan perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekspor Indonesia.