BOM, teror, dan perang selalu mengedarkan rasa takut dan ketaksabarandan ketaksabaran adalah bahan buruk untuk demokrasi. Terutama jika kita lihat demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dari diktat (dari mana kata "diktator" berasal) yang datang lekas. "Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi," kata tokoh politik Inggris Clement Attlee.
Tapi tentu saja Attlee tak hanya bicara itu. Kalimatnya punya ekor: "Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi, tapi hanya efektif kalau kita bisa menghentikan orang omong." Maka (mengikuti Attlee), tiap pemerintahan demokratis butuh sebuah kiat: bagaimana menggabungkan kepintaran berdiskusi dengan kepintaran membungkam mulut.
Tapi sebenarnya "berdiskusi" dan "membungkam mulut" bukanlah dua laku yang otomatis bertentangan. Menghentikan orang omong akan hanya sia-sia jika tindakan itu bukan tindakan yang bisa diterima dengan ikhlas dan diakui sah. Akan lebih riuh suara menggerundel, akan lebih bengis suara mengumpat, jika orang tak sepakat akan perlunya tutup mulut. Walhasil, diperlukan sebuah diskusi untuk tak berdiskusi, diperlukan sabar untuk tak sabar.
Kesepakatan adalah sebuah kuasa. Kata "kuasa" juga berarti "otoritas" dan "amanat". Di situlah kelebihan demokrasi: ada hubungan yang mendasar antara pengertian "kuasa" dan "amanat" dan juga dengan "kesepakatan". Dengan itulah kekuasaan dan/atau kekuatan (yang dalam bahasa Inggris berada dalam satu kata, power) punya asal usul yang jelas, yakni dukungan orang ramai yang memberikan mandat. Kekuasaan tak datang dari Tuhan, warisan, nasib baik, atau kecerdasan si berkuasa.
Asal usul kekuasaan itulah yang seharusnya jadi awal tiap percakapan tentang demokrasi. Saya kira itulah kelemahan dasar tesis Fareed Zakaria (ia editor Newsweek edisi internasional) dalam The Future of Freedom, meskipun ini sebuah risalah yang cerah dan cemerlang. Zakaria tak membahas dari mana kekuasaan untuk memerintah datang, dan bagaimana kekuasaan itu jadi sah dan diterima. Ia seperti mengabaikan itu, sementara ia dengan syak melihat demokratisasi yang kini terjadi di mana-mana.
Ia syak, sebab demokratisasi, menurut Zakaria, justru telah menyebabkan kebebasan manusia terancam. Di Gujarat, India, partisipasi rakyat banyak malah melahirkan sebuah "demokrasi yang illiberal". Merekalah yang membunuh dan mendesak minoritas muslim dan mengintimidasi kemerdekaan bersuara. "Suara rakyat suara Tuhan" pun berakhir jadi "suara rakyat, suara Tuhan, suara setan."
Maka Zakaria pun lebih suka menunda demokrasi (sebab itu ia mengagumi Lee Kuan Yew dan memuji Soeharto). Ia mendahulukan perbaikan taraf ekonomi, sampai tumbuh kelas menengah yang bebas dari Negara, sampai tercapai pendapatan per kapita tertentu. Ia penerus Edmund Burke yang melihat revolusi dan rakyat dengan cemas. Ia mempertahankan teori Seymour Martin Lipset bahwa "kian kaya sebuah bangsa, kian besar kansnya untuk mempertahankan demokrasi."
Sebab itulah, baginya, prioritas pertama dalam membangun sebuah bangsa bukanlah memberi rakyat banyak kesempatan langsung untuk mempengaruhi kebijakan. Zakaria mendahulukan didirikannya lembaga-lembaga untuk mengembangkan "konstitusionalisme", dengan peradilan yang mandiri, hak-hak minoritas yang terjaga, begitu juga kemerdekaan lain manusiameskipun tak dijelaskannya dari mana datangnya sebuah kekuasaan untuk menjalankan itu semua.
Tak aneh bila Zakaria pun muram tentang Indonesia. Baginya, "Indonesia pada tahun 1998 bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi." Sebab dari semua negeri Asia Timur, Indonesialah yang paling bergantung pada sumber alam. Dalam teori Zakaria, di sebuah negeri yang seperti itumisalnya Arab Saudi yang bergantung pada minyaktak cukup orang yang, karena kebutuhan hidup, bergerak menjalankan ekonomi. Merekalah kelas menengah yang tak disuapi sang penguasa dan merekalah sendi demokrasi. Zakaria kembali ke tesis klasik Barrington Moore: tak ada kelas menengah, tak ada demokrasi.
Maka di matanya, demokratisasi Indonesia yang tergopoh itu hanya membawa hal-hal buruk. GDP mengkeret sampai hampir 50 persen. Sistem politik yang terbuka "menghamburkan kaum fundamentalis Islam yang, di sebuah negeri tanpa sebuah bahasa politik yang cukup, berbicara dengan sebuah wacana yang dikenaliwacana agama." Jika berhasil, kata Zakaria, kebangkitan Islam politik di Indonesia akan mengancam sifat negara yang tak berdasar agama ini dan "mengembangbiakkan gerakan separatis."
Tapi tentu saja Zakaria salah, setidaknya separuh. Indonesia tak seperti Brunei yang bergantung benar pada petrodolar disertai sebuah sistem politik yang memandang Sultan sebagai sang pemilik yang tak harus memperbaharui mandatnya tiap lima tahun sekali. Kelas menengah di Indonesia memang masih lemah, pendapatan per kapita rendah, tapi masih harus dilihat, tidakkah politik di Indonesia sebenarnya diarahkan oleh mereka yang berpendapatan per kapita US$ 3.000 ke atas.
Hasil Pemilihan Umum 1999 pun tak seperti yang diduga Zakaria: "wacana agama" memang menonjol, tapi segalanya diperdebatkan secara terbuka, sebab sebelumnya, kemerdekaan bersuara dan berserikat telah direbut. Maka keragaman pendapat pun tampak, juga antara mereka yang menyebut diri "politisi Islam". Kaum "fundamentalis" tak menyebabkan perubahan konstitusi hingga Indonesia jadi "Negara Islam".
Saya kira, di situlah berkah demokrasi: ia melahirkan kuasa yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kesepakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas. Maka jika kini bom dan waswas bisa menghilangkan kesabaran itu, kita tahu apa yang menunggu.
Goenawan Mohamad