Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Syak

Oleh

image-gnews
Iklan

BOM, teror, dan perang selalu mengedarkan rasa takut dan ketaksabarandan ketaksabaran adalah bahan buruk untuk demokrasi. Terutama jika kita lihat demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dari diktat (dari mana kata "diktator" berasal) yang datang lekas. "Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi," kata tokoh politik Inggris Clement Attlee.

Tapi tentu saja Attlee tak hanya bicara itu. Kalimatnya punya ekor: "Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi, tapi hanya efektif kalau kita bisa menghentikan orang omong." Maka (mengikuti Attlee), tiap pemerintahan demokratis butuh sebuah kiat: bagaimana menggabungkan kepintaran berdiskusi dengan kepintaran membungkam mulut.

Tapi sebenarnya "berdiskusi" dan "membungkam mulut" bukanlah dua laku yang otomatis bertentangan. Menghentikan orang omong akan hanya sia-sia jika tindakan itu bukan tindakan yang bisa diterima dengan ikhlas dan diakui sah. Akan lebih riuh suara menggerundel, akan lebih bengis suara mengumpat, jika orang tak sepakat akan perlunya tutup mulut. Walhasil, diperlukan sebuah diskusi untuk tak berdiskusi, diperlukan sabar untuk tak sabar.

Kesepakatan adalah sebuah kuasa. Kata "kuasa" juga berarti "otoritas" dan "amanat". Di situlah kelebihan demokrasi: ada hubungan yang mendasar antara pengertian "kuasa" dan "amanat" dan juga dengan "kesepakatan". Dengan itulah kekuasaan dan/atau kekuatan (yang dalam bahasa Inggris berada dalam satu kata, power) punya asal usul yang jelas, yakni dukungan orang ramai yang memberikan mandat. Kekuasaan tak datang dari Tuhan, warisan, nasib baik, atau kecerdasan si berkuasa.

Asal usul kekuasaan itulah yang seharusnya jadi awal tiap percakapan tentang demokrasi. Saya kira itulah kelemahan dasar tesis Fareed Zakaria (ia editor Newsweek edisi internasional) dalam The Future of Freedom, meskipun ini sebuah risalah yang cerah dan cemerlang. Zakaria tak membahas dari mana kekuasaan untuk memerintah datang, dan bagaimana kekuasaan itu jadi sah dan diterima. Ia seperti mengabaikan itu, sementara ia dengan syak melihat demokratisasi yang kini terjadi di mana-mana.

Ia syak, sebab demokratisasi, menurut Zakaria, justru telah menyebabkan kebebasan manusia terancam. Di Gujarat, India, partisipasi rakyat banyak malah melahirkan sebuah "demokrasi yang illiberal". Merekalah yang membunuh dan mendesak minoritas muslim dan mengintimidasi kemerdekaan bersuara. "Suara rakyat suara Tuhan" pun berakhir jadi "suara rakyat, suara Tuhan, suara setan."

Maka Zakaria pun lebih suka menunda demokrasi (sebab itu ia mengagumi Lee Kuan Yew dan memuji Soeharto). Ia mendahulukan perbaikan taraf ekonomi, sampai tumbuh kelas menengah yang bebas dari Negara, sampai tercapai pendapatan per kapita tertentu. Ia penerus Edmund Burke yang melihat revolusi dan rakyat dengan cemas. Ia mempertahankan teori Seymour Martin Lipset bahwa "kian kaya sebuah bangsa, kian besar kansnya untuk mempertahankan demokrasi."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab itulah, baginya, prioritas pertama dalam membangun sebuah bangsa bukanlah memberi rakyat banyak kesempatan langsung untuk mempengaruhi kebijakan. Zakaria mendahulukan didirikannya lembaga-lembaga untuk mengembangkan "konstitusionalisme", dengan peradilan yang mandiri, hak-hak minoritas yang terjaga, begitu juga kemerdekaan lain manusiameskipun tak dijelaskannya dari mana datangnya sebuah kekuasaan untuk menjalankan itu semua.

Tak aneh bila Zakaria pun muram tentang Indonesia. Baginya, "Indonesia pada tahun 1998 bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi." Sebab dari semua negeri Asia Timur, Indonesialah yang paling bergantung pada sumber alam. Dalam teori Zakaria, di sebuah negeri yang seperti itumisalnya Arab Saudi yang bergantung pada minyaktak cukup orang yang, karena kebutuhan hidup, bergerak menjalankan ekonomi. Merekalah kelas menengah yang tak disuapi sang penguasa dan merekalah sendi demokrasi. Zakaria kembali ke tesis klasik Barrington Moore: tak ada kelas menengah, tak ada demokrasi.

Maka di matanya, demokratisasi Indonesia yang tergopoh itu hanya membawa hal-hal buruk. GDP mengkeret sampai hampir 50 persen. Sistem politik yang terbuka "menghamburkan kaum fundamentalis Islam yang, di sebuah negeri tanpa sebuah bahasa politik yang cukup, berbicara dengan sebuah wacana yang dikenaliwacana agama." Jika berhasil, kata Zakaria, kebangkitan Islam politik di Indonesia akan mengancam sifat negara yang tak berdasar agama ini dan "mengembangbiakkan gerakan separatis."

Tapi tentu saja Zakaria salah, setidaknya separuh. Indonesia tak seperti Brunei yang bergantung benar pada petrodolar disertai sebuah sistem politik yang memandang Sultan sebagai sang pemilik yang tak harus memperbaharui mandatnya tiap lima tahun sekali. Kelas menengah di Indonesia memang masih lemah, pendapatan per kapita rendah, tapi masih harus dilihat, tidakkah politik di Indonesia sebenarnya diarahkan oleh mereka yang berpendapatan per kapita US$ 3.000 ke atas.

Hasil Pemilihan Umum 1999 pun tak seperti yang diduga Zakaria: "wacana agama" memang menonjol, tapi segalanya diperdebatkan secara terbuka, sebab sebelumnya, kemerdekaan bersuara dan berserikat telah direbut. Maka keragaman pendapat pun tampak, juga antara mereka yang menyebut diri "politisi Islam". Kaum "fundamentalis" tak menyebabkan perubahan konstitusi hingga Indonesia jadi "Negara Islam".

Saya kira, di situlah berkah demokrasi: ia melahirkan kuasa yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kesepakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas. Maka jika kini bom dan waswas bisa menghilangkan kesabaran itu, kita tahu apa yang menunggu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

38 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

43 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

43 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.