Pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang mendukung deklarasi gerakan anti-Syiah merupakan blunder besar. Sikap itu bisa menjadi bom waktu yang bisa menyulut tindakan kekerasan yang luas. Tindakan tersebut tak bisa ditenggang. Sebagai kepala daerah, Ahmad Heryawan semestinya menjamin hak asasi seluruh warganya, termasuk hak untuk memilih keyakinan.
Yang dilakukan Ahmad Heryawan sungguh tak bisa diterima akal sehat. Senin lalu, dia memang urung hadir dalam acara deklarasi Aliansi Nasional Anti-Syiah di Masjid Al-Fajr, Cijagra, Bandung. Namun Aher--panggilan Ahmad Heryawan--mengirim utusannya, Asisten Kesra Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi. Dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Ahmad Hadadi, Aher menyatakan, "Kami dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan dukungan kepada seluruh umat Islam yang senantiasa memelihara nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai keislaman, sehingga nilai-nilai itu tidak ternodai dengan ajaran-ajaran sesat."
Ajaran sesat menurut siapa? Soal hak asasi berkeyakinan dan jaminan perlindungan terhadap kaum minoritas, semestinya Ahmad Heryawan sudah mafhum. Konstitusi Pasal 28E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan bahwa kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak yang dijamin oleh negara. Namun, anehnya, Ahmad Heryawan justru menentang hal itu.
Boleh saja secara pribadi Ahmad Heryawan tak sepaham dengan Syiah, namun sebagai kepala daerah seharusnya ia menjalankan tugas melindungi seluruh warganya tanpa kecuali. Yang harus dilindungi negara bukan hanya kelompok mayoritas. Kelompok minoritas, yang justru membutuhkan perlindungan, malah tak diayomi, bahkan dibiarkan jadi obyek tindak kekerasan. Pola pikir seperti itu hanya akan mengekalkan tirani mayoritas. Itulah yang terjadi selama ini. Kelompok yang berkeyakinan berbeda, seperti Ahmadiyah dan Syiah, kerap dizalimi, dan aparatur negara tak melindungi mereka.
Gubernur Jawa Barat harus mencabut pernyataannya itu. Tindakan tersebut telah mengkhianati rakyat dan konstitusi. Dia seharusnya sadar, dukungan seperti itu bisa berdampak fatal. Pengusiran warga Syiah dari Dusun Nangkernang, Sampang, telah menjadi buktinya. Diamnya pemerintah dianggap sebagai dukungan terhadap tindak kekerasan atas warga Syiah. Rumah mereka dibakar, warga diusir bak pesakitan selama berbulan-bulan, jatah makan dan akses air bersih bagi ratusan orang dibatasi. Laporan empat lembaga negara--Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban--Agustus tahun lalu sampai menyatakan bahwa penindasan atas kelompok Syiah ini bisa mengarah ke genosida.
Keputusan Ahmad Heryawan ini bisa mengirim sinyal mengkhawatirkan: negara sekali lagi sudah tak mampu memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Negara tunduk kepada desakan segerombolan orang yang tidak paham makna toleransi dan punya nafsu mengebiri hak asasi manusia.