Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak perlu sering mengumbar amarah andaikata reformasi birokrasi telah dijalankan. Undang-undang yang menjadi landasan perubahan konsep aparatur negara, termasuk pegawai daerah, ini sudah disahkan. Tapi pelaksanaannya masih menunggu peraturan pemerintah dan pembentukan Komisi Aparatur Sipil Nasional.
Ahok kerap geram karena merasa dipermainkan oleh anak buahnya. Ia memarahi, antara lain, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Wiriatmoko, yang dianggap tidak becus mengurus bus hasil hibah. Menurut Ahok, bus bantuan yang berlogo nama perusahaan penyumbang ini semestinya dikenai tarif iklan murah. Tapi, oleh Wiriatmoko, diminta membayar iklan dengan tarif wajar. Sebaliknya, iklan dari partai politik malah gratis.
Dalam sebuah rapat, Ahok juga pernah berang kepada salah satu pejabatnya dan direkam melalui kamera video, lalu diunggah ke media sosial. Ahok pun pernah jengkel terhadap kinerja pegawainya. Dia menghitung, dalam sepekan, pegawai DKI faktualnya hanya bekerja sekitar delapan jam. Padahal kerja delapan jam aturannya untuk satu hari.
Fenomena itu menggambarkan betapa sulit mereformasi birokrasi. Kultur pegawai negeri yang serba lamban membuat birokrasi jauh dari efisien. Gubernur DKI Joko Widodo dan Ahok sudah berupaya keras mengubahnya, antara lain lewat lelang jabatan lurah dan merotasi banyak sekali pejabat dinas. Hanya, perubahan ini tidaklah cukup.
Itulah pentingnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang disahkan pada Januari lalu. Undang-undang ini mendorong pemberian imbalan dan promosi jabatan berdasarkan kinerja, bukan senioritas, dan melarang penempatan pegawai atas dasar kepentingan politik ataupun nepotisme. Pemilahan aparatur sipil menjadi dua kategori--pegawai negeri dan pegawai dengan perjanjian kerja--juga akan memudahkan kementerian atau pemerintah daerah merekrut para profesional untuk mengisi jabatan penting.
Banyak yang melihat undang-undang baru itu mengurangi wewenang kepala daerah. Soalnya, rekrutmen pegawai harus benar-benar transparan dan akan diawasi oleh Komisi Aparatur. Kepala daerah tidak bisa lagi mengangkat pegawai secara sembarangan, apalagi berbau nepotisme. Tapi seharusnya kita melihatnya dari sisi reformasi birokrasi. Undang-undang itu justru memudahkan kepala daerah merekrut kalangan profesional untuk membenahi dan memperkuat birokrasinya.
Pemerintah DKI, misalnya, bisa memecat pejabat yang tak becus atau sengaja mencari kesempatan untuk korupsi, tanpa banyak ribut. Kinerja yang buruk bisa menjadi alasan. Jokowi-Ahok juga bisa segera mencari penggantinya dengan cepat--kalau perlu, merekrut dari luar. Yang terjadi sekarang, pemecatan dan rotasi pejabat terkadang tak menyelesaikan masalah karena penggantinya juga tidak lebih baik.